Halaman

Senin, 13 Agustus 2012

Membangun Pembenahan Governance di Indonesia

Di beberapa Negara yang memiliki angka indeks persepsi korupsi yang tinggi, termasuk Indonesia, pada saat ini masih dijumpai banyak perusahaan yang mengikuti tender menjadi pemasok instansi pemerintah maupun swasta, terpaksa harus memberikan suap jika ingin menjadi pemenang tender. Keadaan ini terjadi pada banyak perusahaan meskipun secara internal perusahaan tersebut sudah berkomitmen untuk melaksanakan GCG.


Ilustrasi di atas memperlihatkan meski suatu perusahaan telah berketetapan secara konsisten menerapkan GCG, namun untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dalam suatu lingkungan bisnis yang tidak sehat, pada saat harus berhubungan dengan pihak ketiga yang tidak menjalankan governance yang baik, pada akhirnya perusahaan yang bersangkutan terpaksa melanggar prinsip-prinsip GCG.

Hipotesa yang dibangun adalah, pelaksanaan dan pembenahan GCG tidak dapat dilakukan sendiri, namun akan sangat bergantung pada 2 pilar yang lain, yakni masyarakat madani dan penyelenggara negara. Dengan kata lain, pendekatan yang harus dilaksanakan adalah pendekatan holistik, dimana ada 3 pilar yang saling berkaitan. Pilar pertama adalah pilar Negara yang terdiri dari Eksekutif, Yudikatif, Legislatif dan Lembaga Non Struktural. Dan 2 pilar lain yaitu Dunia Usaha dan Masyarakat Madani.


Tanggung jawab dunia bisnis identik dengan melaksanakan GCG. Lebih dari itu, sektor swasta juga harus peduli untuk berperan serta memperbaiki 7 isu strategis lainnya, jika tidak, cepat atau lambat kegiatan bisnis sektor swasta akan sangat terganggu. Oleh karena itu melalui kegiatan lobi, advokasi dan pelaksanaan program CSR dunia usaha dapat berperan serta mendorong terwujudnya iklim bisnis yang kondusif.

Belajar dari kasus Lehman Brothers di Amerika Serikat dan Bank Century di Indonesia, menunjukkan bahwa isu utama dari permasalahan yang kita hadapi sesungguhnya terkait dengan persoalan moral dan etika yang kurang baik, governance yang buruk dan penegakan hukum yang lemah. Untuk itu perlu dibenahi sistem moral dan perilaku melalui proses pendidikan. Secara jangka pendek harus pula dibangun sistem untuk meraih pencapaian dengan cepat (quick win) yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat.

Sebagai contoh,  membangun Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) bertujuan untuk mengubah perilaku buruk seperti surat kaleng, fitnah, ketidakjujuran dan ketidakpercayaan, menjadi perilaku yang jujur, tranparan dan terpecaya. Di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, dorongan peraturan pada fase awal menjadi lebih tepat tanpa harus tidak mengindahkan dorongan pasar dan etika. Secara umum, dorongan peraturan menjadi efektif jika terfokus pada aspek transparansi dan pelaporan.Tentu saja solusi yang dibangun harus ditujukan untuk mengatasi akar permasalahan terutama mengatasi konflik kepentingan, governance yang buruk dan lemahnya penegakan hukum. Jika tidak, permasalahan tersebut tidak akan pernah dapat diatasi secara tuntas.


Rencana pelaksanaan GCG secara normatif bertujuan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif guna mengundang investor lokal dan asing dengan cara menciptakan kepastian hukum, transparansi peraturan dan layanan publik yang prima dengan cara yang efisien serta didukung oleh birokrasi yang bersih dan responsif.

Untuk menciptakan sektor bisnis yang bertanggung jawab dan beretika, ini bisa direalisasikan dengan mengimplementasikan GCG yang sudah menyatu menjadi kultur perusahaan. Pelaksanaan etika bisnis sudah menjadi perilaku bisnis sehari hari, hal yang sama juga berlaku untuk tansparansi sistem keuangan yang diharapkan sudah menjadi norma umum.

 Untuk mempercepat pelaksanaan GCG yang terkait dengan aspek transparansi dan pelaporan didorong melalui regulasi yang dikeluarkan oleh para regulator misalnya Bapepam LK dan Self Regulatory Organization (SRO) di bidang pasar modal, BI di bidang Perbankan, dan Kementerian BUMN. Di bidang persaingan usaha yang sehat dilakukan oleh KPPU.

 Dalam konteks penegakan internal, pelaksanaan GCG dilakukan melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah meningkatkan komitmen bersama untuk melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Governance (TARIF). Untuk tujuan ini perlu dikembangkan rambu-rambu yang mengatur struktur perusahaan, sistem, prosedur dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mematuhi semua ketentuan dan kesepakatan dalam menerapkan prinsip GCG, baik yang wajib maupun yang bersifat sukarela. Tahap kedua adalah melaksanakan dan membangun perusahaan yang terkendali. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sistem kontrol internal dan pengendalian risiko, termasuk pelaksanaan WBS. Sedangkan pada tahap ketiga perusahaan berupaya mengaktualisasikan seluruh kegiatan bisnis yang beretika, sebagai perwujudan warga masyarakat yang baik. Pada tahap ini kegiatan CSR menjadi bagian dari strategis bisnis perusahaan. Pada akhirnya, tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan dan pengembangan bisnis yang berkelanjutan yang juga merupakan kepentingan dari semua pemangku kepentingan.

Upaya-upaya tersebut diharapkan akan merubah kultur perusahaan. Perubahan kultur perusahaan diawali dengan bergesernya paradigma mengenai keuntungan yang digambarkan sebagai penghargaan terhadap perusahaan dari masyarakat melalui produk dan jasa perusahaan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan terdahulu dimana menggambarkan perusahaan sebagai subyek ekonomi yang semata-mata mengejar keuntungan sebesar-besarnya, perkembangan selanjutnya bergeser menjadi memaksimalkan keuntungan perusahaan yang berkelanjutan.

Dalam hal pembangunan sumber daya manusia, pegawai tidak lagi dianggap sebagai faktor produksi, namun merupakan aset penting dalam perusahaan. Sehingga menjadi penting membangun dan mendidik karyawan sebelum memproduksi produk atau jasa. 

Terkait dengan konsep stakeholder, jika dahulu lebih difokuskan terhadap pemenuhan kepentingan pemegang saham saja, saat ini perusahaan lebih menfokuskan keseimbangan antara kepentingan stakeholder melalui proses bisnis berdasarkan prinsip-prinsip TARIF. Pendek kata, setelah melaksanakan GCG di tahap ketiga, maka hal itu akan mempengaruhi dan mengubah kultur perusahaan terutama yang terkait dengan persepsi tentang keuntungan, sumber daya manusia dan pemangku kepentingan.

Kamis, 26 Juli 2012

Best Practices Implementasi Good Corporate Governance (GCG)



Beberapa best practises dalam penerapan GCG, yakni :

ü  Self assesment terhadap Penerapan GCG di perusahaan.

Self assesment dilakukan untuk mengetahui kondisi dan tingkat penerapan dari prinsip-prinsip GCG. Umumnya perusahaan melakukan ketika akan menerapkan GCG. Kemudian perusahaan menyusun pedoman dan mengambil berbagai kebijakan untuk menerapkan GCG.

Perusahaan dapat melakukan self assesment secara periodik. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah proses penerapan GCG ini sudah sejalan atau belum. Selain itu, untuk mendeteksi secara dini potensi  resiko yang melekat dalam operasional perusahaan. Dengan demikian perusahaan dapat mengambil langkah-langkah antisipastif untuk meminimalkan terjadinya resiko tersebut.

ü  Internalisasi nilai-nilai dan etika perusahaan.

Untuk menjamin agar nilai-nilai dan etika perusahaan menjelma menjadi budaya kerja perusahaan. Sebagian perusahaan melakukan proses internalisasi nilai dan etika ini sejak karyawan diterima kerja di perusahaan. Bentuk kegiatannya adalah dengan memasukkan materi-materi ini dalam program orientasi karyawan baru. Karyawan baru diminta menandatangani kepatuhan terhadap etika dan peraturan yang berlaku.

ü  Penerapan e-auction dalam proses pengadaan.

Salah satu bagian yang paling rawan terhadap penyimpangan prinsip-prinsip GCG adalah bagian atau proses pengadaan barang dan jasa. Perusahaan dapat memperkecil peluang terjadinya penyimpangan tersebut melalui penerapan e-auction (e procurement dan e-tender). Tujuan dari penerapan sistem ini adalah untuk meminimalkan terjadinya kontak fisik antara pemasok/mitra usaha dengan panitia pengadaan. Semua kegiatan tender mulai dari penawaran harga hingga penentuan pemenang dilakukan dengan sistem komputer untuk menunjang transparansi, sehingga seluruh pemasok memperoleh informasi yang sama.

ü  Penerapan e-learning dan knowledge management.

Penerapan aspek transparansi dapat melalui pengembangan infrastruktur informasi berupa intranet, knowledge manegement, yang merupakan sarana karyawan dalam menyampaikan berbagai tulisan, ide-ide atau gagasan. Setiap karyawan dapat mengakses informasi tesebut. Ide atau inovasi yang bagus dan dapat direalisasikan, akan memperoleh penghagaan dari manajemen. Selain itu, melalui e-learning, karyawan dapat mengakses dan mendownload beragam informasi dan pengetahuan untuk dapat meningkatkan kompetensi mereka.

ü  Penerapan sistem komunikasi internal.

Prinsip transparansi dapat diterapkan juga melalui pengembangan sistem komunikasi internal antara manajemen dengan karyawan. Selain dengan menggunakan media intranet,  media internal magazine atau bulletin dan temu karyawan dengan manajemen, ada juga yang mengembangkan sistem komunikasi melalui SMS.

ü  Penerapan sistem komunikasi eksternal.

Banyak perusahaan mengembangkan program komunikasi dengan pihak eksternal. Kegiatan yang masuk kategori ini adalah penyelenggaraan konferensi pers dan mempublikasikan Laporan Keuangan perusahaan melalui media massa dan website perusahaan. Bagi perusahaan yang sudah go public, aktivitas lain yang banyak dilakukan adalah pemaparan perkembangan dan kinerja perusahaan, termasuk dalam RUPS Tahunan, RUPS Luar Biasa, tindakan korporasi, serta pertemuan dengan para analis, fund manager dan investor institusi.

ü  Penerapan sistem komunikasi dengan pelanggan.

Penerapan GCG harus menjamin kepentingan stakeholder termasuk pelanggan. Untuk kepentingan komunikasi dengan pelanggan, praktek yang banyak dilakukan adalah dengan membangun berbagai sarana yang memudahkan pelanggan untuk berkomunikasi langsung dengan perusahaan termasuk dalam mengajukan komplain. Misalnya, melalui hotline, email, sms atau melalui pos dan kotak saran. Beberapa perusahaan juga mengagendakan program customer gathering. Tentu perusahaan tidak hanya berkewajiban menerima pengaduan dari pelanggan, tetapi yang lebih penting adalah menjamin bahwa setiap pengaduan dapat direspon dengan cepat dan dapat diselesaikan. Selain berkomunikasi dengan pelanggan, beberapa perusahaan juga secara rutin mengukur kepuasan pelanggan dan menilai kinerja pelayanannya terhadap pelanggan melalui kegiatan Survey Kepuasan Pelanggan. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa pelayanan yang diberikan sudah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan selaras dengan kebutuhan pelanggan.

ü  Peraturan dan kode etik

Untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan, best practices yang  banyak dikembangkan oleh perusahaan yang sudah menerapkan GCG adalah pembuatan aturan dan kode etik yang mencegah terjadinya benturan kepentingan, misalnya :

o    Larangan kepada karyawan untuk melakukan penyuapan atau memberikan sesuatu yang kepada pihak lain yang dapat menimbulkan prasangka negatif dan mencemarkan nama baik perusahaan.
o    Larangan kepada karyawan untuk melakukan tindakan yang dapat dipersepsikan pihak lain sebagai tindakan meminta, mengusulkan atau memaksa pihak lain memberikan bingkisan atau balas jasa atas kerjasama yang telah dilakukan.
o    Larangan rangkap jabatan pada perusahaan yang sejenis
o    Larangan untuk menerima karyawan yang ada hubungan keluarga langsung dengan karyawan
o    Larangan terjadinya pernikahan antar karyawan dan bila hal itu terjadi, maka salah satunya harus mengundurkan diri.

ü  Penerapan Program Whistle Blower.

Tahun 2006, PT. Telkom, telah menerapkan program Whistle Blower. Program ini dikomunikasikan kepada seluruh karyawan melalui jaringan portal Telkom. Dengan diberlakukannya program ini, seluruh karyawan PT Telkom, dan anak perusahaan mempunyai saluran formal untuk menyampaikan pengaduan mengenai dugaan/indikasi terjadinya kecurangan (fraud), pelanggaran peraturan pasar modal, dan peraturan yang berkaitan dengan operasi perusahaan, termasuk masalah akuntansi, pengendalian internal dan auditing langsung kepada Komite Audit.

ü  Penerapan Job Tender.

Program ini dilaksanakan untuk memberi kesempatan pertama kepada karyawan untuk mengisi posisi-pisisi yang kosong di perusahaan. Dengan penerapan program ini, perusahaan akan mendapat karyawan terbaik yang sesuai dengan kompetensinya serta terhindar dari kesan like and dislike dan nepotisme.

ü  Penerapan program Corporate Social Responsibility (CSR).

Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap lingkungan dan masyarakat sebagai bagian dari stakeholder, banyak perusahaan telah mengembangkan program-program CSR. Program-program ini umumnya berkaitan dengan bidang pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan kelestarian lingkungan hidup.

ü  Pembentukan Komite GCG.

Sebagai wujud komitmen perusahaan dalam menerapkan GCG, perusahaan membentuk Komite GCG yang merupakan salah satu Komite yang dibentuk oleh Komisaris. Secara garis besar tugas dari Komite ini adalah memberikan rekomendasi kepada Komisaris mengenai arah kebijakan dan program-program percepatan penerapan GCG serta mengawasi efektivitas penerapan GCG oleh Direksi dan jajarannya sehingga kepentingan stakeholder dapat terlindungi dan terciptanya mekanisme check and balance pada semua aktivitas.

Rabu, 28 Maret 2012

Pentingnya Membangun Lembaga Corporate Governance Center di Perguruan Tinggi

Pentingnya good corporate governance (GCG) untuk kesuksesan perusahaan tidak dapat dipungkiri. GCG merupakan salah satu faktor utama pembentuk citra perseroan dimana perseroan yang aktif di dalam mengimplementasikan dan menyuarakan praktik-praktik good governance berpeluang lebih besar di dalam menciptakan bisnis yang berkesinambungan.

Pada sisi lain perkembangan pasar global menuntut untuk terjalinnya hubungan yang baik dan konstruktif antara Perguruan Tinggi dengan Dunia Usaha. Dengan demikian fokus utama yang harus dikembangkan oleh Perguruan Tinggi yaitu pengembangan kualitas Sumber daya Manusia dan membangun jaringan yang kuat sebagai bagian dari promosi universitas dan mahasiswa kepada dunia usaha (Perusahaan).

Kami melihat bahwa harus ada reformasi pola tatanan hubungan yang dibangun antara Perguruan Tinggi dengan Dunia Usaha. Selama ini pola yang dipakai adalah melalui kerjasama riset dan pengembangan yang melibatkan Dunia Usaha, pola ini memiliki kelemahan dimana skala riset masih di kuasai oleh beberapa Perguruan Tinggi besar di Indonesia, maka celah lain harus dimanfaatkan untuk membangun jaringan dan komunikasi dengan dunia usaha, yaitu dengan mengeksplorasi dan menciptakan kebutuhan perusahaan, maka isu-isu GCG adalah jawaban terhadap kebutuhan perusahaan saat ini.

Kenapa GCG penting bagi Perusahaan, Penerapan praktek-praktek GCG dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan memaksimalkan nilai perusahaan (corporate value) melalui best practice sharing dan jaringan sosial yang terbentuk akan memberikan peluang besar bagi pengembangan bisnis perusahaan selanjutnya.

Tujuan suatu organisasi, baik itu lembaga pendidikan tinggi maupun dunia usaha hanya akan dapat terwujud dengan usaha-usaha yang teratur dan terencana. Pendirian Corporate Governance Centre di sebuah Universitas dimaksudkan untuk memberi kerangka konseptual dan kerangka kerja pengembangan jaringan dan posisioning Universitas di mata dunia usaha yang searah dengan pengembangan sumber daya manusia didikannya. Beberapa tujuan tersebut adalah :

1. Membuat jaringan yang sistematis antara Universitas dengan Perusahaan-perusahaan di Indonesia.

2. Mengukuhkan posisi Perguruan Tinggi sebagai fasilitator informasi dan ide bagi para pelaku bisnis di Indonesia.

3. Mengoptimalkan peran Universitas dalam memperkenalkan dan mengembangkan konsep, gagasan dan isu-isu mutakhir mengenai GCG pada Perusahaan-perusahaan di Indonesia.

4. Mengoptimalkan peran Universitas untuk mengembangkan isu-isu GCG kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia, akademisi dan masyarakat umum.

Selasa, 20 Maret 2012

Menanya Ulang GCG dan Mengukur Implementasi GCG


Good corporate governance telah menjadi sesuatu yang wajib untuk diterapkan dan telah menjadi kunci bagi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan. Pada beberapa kementrian terutama kementrian yang berhubungan dengan Badan Usaha Milik Negara telah mengeluarkan aturan-aturan yang mewajibkan penerapan GCG tersebut di setiap institusi BUMN, demikian juga dengan perbankkan, berdasarkan aturan Bank Indonesia tahun 2006, gcg merupakan kewajiban yang harus di laksanakan oleh Bank-bank di Indonesia termasuk BPD.

Lantas apa GCG tersebut, sejauh mana masyarakat bisa memahami bahwa GCG bermanfaat bagi mereka, dalam pedoman umum GCG yang dikeluarkan oleh KNKG pada tahun 2006, terdapat 5 prinsip yang menjadi asas utama GCG, prinsip tersebut adalah Transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran kesetaraan.

Transparansi ialah Pengungkapan informasi yang tepat waktu, memadai, jelas dan dapat diperbandingkan yang mencakup informasi keuangan dan keputusan penting yang diambil oleh perusahaan. Akuntabilitas yaitu menetapkan tugas dan tanggung jawab serta penilaian kinerja secara jelas, baik pada tingkatan dewan serta semua bagian di Perusahaan secara menyeluruh. Responsibilitas memastikan bahwa bank dikelola secara hati-hati dan taat pada hukum dan peraturan yang berlaku, termasuk adanya manajemen risiko dan pengendalian yang tepat.

Sedangkan Independensi bertindak hanya untuk kepentingan Perusahaan, bebas dari berbagai bentuk benturan kepentingan. Kesetaraan dan kewajaran memastikan perlindungan hak pemegang saham, insan bank, nasabah dan stakeholder lainnya, termasuk komunitas pada umumnya dan memastikan dilaksanakannya kontrak yang telah disepakati. GCG haruslah menjadi nilai yang di dorong oleh eksekutive perusahaan/perbankan ke seluruh jajaran pegawai (top down)

GCG merupakan implementasi dari kesadaran kolektif semua organisasi dalam perusahaan, membangun dan melaksanakan GCG merupakan suatu proses berkelanjutan yang harus dilakukan secara konsisten dengan komitmen yang tinggi, dimulai dari penyusunan visi, misi dan guiding principles (value) serta kebijakan GCG.

Secara proses, membangun dan melaksanakan GCG dapat dikaji dalam tiga tahap yaitu tahap membangun kesadaran dan persiapan, tahap implementasi dan tahap evaluasi. Dari sudut tindakan yang perlu dilakukan, membangun GCG dapat dilakukan melalui hal-hal tersebut berikut ini : pertama adalah membangun kesadaran mengenai GCG bagi seluruh jajaran di perusahaan, kesadaran ini penting agar komitmen implementasi menjadi bagian yang menyeluruh mulai dari direktur hingga karyawan,

Kedua adalah tahap membangun manual penerapan atau implementasi GCG, seperti dikemukakan di awal, bahwa GCG mensyaratkan dorongan dari atas (topdown) sehingga ia dapat terwujud secara efektif dimana terwakilkan melalui bentukan-bentukan struktur yang dibentuk seperti RUPS maupun struktur dibawah dewan komisaris yang diantaranya adalah komite audit, komite pemantau resiko, komite nominasi dan remunerasi, komite gcg, komite pemantau sistem pelaporan dan pelanggaran (SPP) / whistleblowing system. Sedangkan struktur dbawah direksi adalah komite manajemen resiko, komite tekhnologi informasi dan lain-lain disesuaikan dengan kebutuhan Perusahaan.

Struktur inilah yang akan melakukan audit terhadap kinerja dan usaha direksi serta tanggungjawab pengelolaan, dimana keharusan melakukan audit merupakan tahapan terakhir dari usaha membangun GCG.

Struktur-struktur diatas dibentuk bukanlah sekedar untuk memenuhi tanggungjawab yang ditetapkan oleh regulator, tetapi untuk menjamin bahwa pemegang saham harus dapat menyadari tanggung jawabnya sebagai pemilik modal dengan tetap memperhatikan kepentingan seluruh pihak yang terkait dan peraturan perundang - undangan. Dilain pihak, hak-hak pemegang saham harus dilindungi, kemudian menjamin bahwa perusahaan memiliki peraturan yang dapat dilaksanakannya hak dan kewajiban mitra bisnis, termasuk tersedianya informasi dan perlindungan terhadap kepentingan masing-masing pihak, dan terakhir perusahaan menggunakan kemampuan bekerja, kualitas dan kriteria yang terakit dengan hubungan kerja sebagai satu-satunya dasar pengambilan keputusan mengenai hubungan kerja antara perusahaan dengan karyawan.

Good Governance Indonesia, Membangun Sinergi Dunia Usaha, Masyarakat dan Negara





Penerapan good governance sangat diyakini memberikan kontribusi yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim bisnis yang sehat, meningkatkan kemampuan daya saing, serta sangat efektif menghindari penyimpangan-penyimpangan dan sebagai upaya pencegahan terhadap korupsi dan suap. Keinginan mewujudkan good governance telah sering dinyatakan baik oleh para pejabat penyelenggara negara di pusat dan di daerah, juga dunia usaha. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan good governance. Pertanyaan diatas kendati mudah disampaikan tentu tidak mudah untuk menjawabnya, karena sejauh ini konsep good governance memiliki arti yang luas. Secara ringkas bisa diartikan sebagai rambu-rambu untuk menjalankan amanah secara jujur dan adil. Banyak orang menjelaskan good governance bergantung pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, good governance sering diartikan sebagai penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek korupsi.

Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar penyelenggaraan itu sendiri, sehingga ada pembagian peran dan kewajiban yang seimbang dalam arti luas, termasuk peran partai politik, masyarakat sipil, dan para pelaku usaha. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antara ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya “check and balance”, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka. Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat penyelenggara negara, pelaku usaha maupun masyakarat pada umumnya dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketiga, praktek good governance adalah praktek penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, budaya hukum, dan akuntabilitas publik.

Secara umum indikator strategis pembenahan governance di Indonesia yang harusnya mendapat perhatian serius bagi kita bersama adalah reformasi birokrasi pelayanan public, pencegahan dan pemberantasan korupsi, penyusunan peraturan perundangan dan penegakannya, reformasi system peradilan, pembenahan governance otonomi daerah, pembenahan etika dan perilaku penyelenggara Negara, serta tidak kalah pentingnya adalah pembenahan governance partai politik. Dengan kata lain pembenahan governance harus didekati secara terintegrasi dan menyeluruh. Namun demikian tidak boleh saling menunggu, dilaksanakan sekarang juga dan dimulai dari diri sendiri dengan tetap peduli terhadap perbaikan iklim usaha yang sehat.


Kita semua menyadari bahwa untuk menciptakan iklim usaha yang sehat dan pasar yang efisien serta transparan, perlu didukung dengan penerapan Governance yang baik secara konsisten, serta membutuhkan keterlibatan dan dukungan penuh dari pelaku usaha, negara dan juga masyarakat. Hal ini dikarenakan hanya dengan penerapan Governance yang baik secara konsisten, maka Negara dan perangkatnya bisa menciptakan peraturan perundangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, serta melaksanakan peraturan perundangan tersebut dan menegakkan hukum secara konsisten.