Halaman

Senin, 29 September 2014

Business Ethics Opportunities

Perusahaan sebagai suatu entitas bisnis tidak bergerak di ruang hampa. Selain bertanggung jawab kepada para pemegang saham, ia juga dituntut untuk memenuhi harapan para pemangku kepentingan lain seperti karyawan, investor, rekanan bisnis, pemasok, pemerintah, auditor, dan masyarakat sekitar. Menarik untuk melihat perilaku bisnis beretika perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang tak jarang mengundang pro & kontra, seperti perusahaan rokok, tambang, ataupun manufaktur. Bagaimana suatu perusahaan rokok melalui program CSR menciptakan dan mempertahankan corporate value di tengah ramainya gerakan anti rokok di Indonesia? Atau bagaimana perusahaan tambang yang kerapkali dikaitkan dengan perusakan lingkungan mendapat kepercayaan masyarakat melalui praktek GCG yang kuat? Benarkah dalam hal ini perilaku bisnis beretika merupakan tanggung jawab moral perusahaan terhadap stakeholders atau hanya bagian dari misi membangun citra di atas kertas sebagai perusahaan yang peduli?





Menyoroti sisi lain, bukan rahasia lagi bahwa praktik bisnis beretika dapat dimanfaatkan untuk menutupi penyalahgunaan wewenang (power abusement) dan kecurangan/penggelapan (fraud) yang dilakukan oleh pihak internal perusahaan. Kasus Enron yang bergerak di bidang power plant dengan proyek CSR di India atau Sarijaya dengan corporate culture yang kondusif merupakan pembelajaran yang berharga bagi dunia usaha. Tekanan dari pihak eksternal juga merupakan tantangan yang tidak kalah kuatnya di dalam melemahkan motivasi untuk beretika dalam berbisnis.

Setiap perusahaan memiliki visi dan misi yang berbeda di dalam menjalankan perilaku bisnis beretika. Lepas dari maksud dan tujuan, pelaku bisnis dihadapkan pada kenyataan akan pentingnya etika bisnis di dalam membentuk suatu perusahaan yang kokoh, memiliki daya saing serta kemampuan menciptakan nilai dan pertumbuhan yang berkesinambungan. Namun, seringkali esensi dari kepentingan ini dikalahkan oleh keuntungan jangka pendek, sehingga pada kenyataannya, masih banyak pihak yang merasakan dampak negatif dari perilaku yang mengesampingkan etika bisnis, baik dampak negatif yang dirasakan oleh perusahaan karena kurangnya dukungan dari pemangku kepentingan terkait maupun sebaliknya.


Konsep Triple Bottom Line (TBL) mengukur keberhasilan perusahaan tidak hanya dari nilai ekonomi (profit) yang tercipta, tetapi juga dari kesejahteraan sosial (people) dan pelestarian lingkungan (planet) yang berkesinambungan. Mewujudkan hal ini tidak cukup dengan mengandalkan perusahaan sebagai pihak pemerhati dan pelaksana praktik bisnis beretika, tetapi juga diperlukan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya karyawan, investor, rekanan bisnis, masyarakat, pemerintah dan auditor. Hal ini juga yang mendasari pembentukan Collective Action oleh World Bank Institute yang merupakan koalisi dari lembaga masyarakat, perusahaan, dan kantor akuntan publik untuk membentuk dunia usaha yang sehat dan bebas korupsi sebagai wujud dukungan terhadap bisnis beretika.

”Beyond the rules and regulations” seharusnya dapat menjadi motivasi, dimana pemenuhan etika bisnis bukan sekedar kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku, tetapi merupakan budaya yang melekat pada praktik berbisnis