Halaman

Senin, 13 Agustus 2012

Membangun Pembenahan Governance di Indonesia

Di beberapa Negara yang memiliki angka indeks persepsi korupsi yang tinggi, termasuk Indonesia, pada saat ini masih dijumpai banyak perusahaan yang mengikuti tender menjadi pemasok instansi pemerintah maupun swasta, terpaksa harus memberikan suap jika ingin menjadi pemenang tender. Keadaan ini terjadi pada banyak perusahaan meskipun secara internal perusahaan tersebut sudah berkomitmen untuk melaksanakan GCG.


Ilustrasi di atas memperlihatkan meski suatu perusahaan telah berketetapan secara konsisten menerapkan GCG, namun untuk mempertahankan kelangsungan usahanya dalam suatu lingkungan bisnis yang tidak sehat, pada saat harus berhubungan dengan pihak ketiga yang tidak menjalankan governance yang baik, pada akhirnya perusahaan yang bersangkutan terpaksa melanggar prinsip-prinsip GCG.

Hipotesa yang dibangun adalah, pelaksanaan dan pembenahan GCG tidak dapat dilakukan sendiri, namun akan sangat bergantung pada 2 pilar yang lain, yakni masyarakat madani dan penyelenggara negara. Dengan kata lain, pendekatan yang harus dilaksanakan adalah pendekatan holistik, dimana ada 3 pilar yang saling berkaitan. Pilar pertama adalah pilar Negara yang terdiri dari Eksekutif, Yudikatif, Legislatif dan Lembaga Non Struktural. Dan 2 pilar lain yaitu Dunia Usaha dan Masyarakat Madani.


Tanggung jawab dunia bisnis identik dengan melaksanakan GCG. Lebih dari itu, sektor swasta juga harus peduli untuk berperan serta memperbaiki 7 isu strategis lainnya, jika tidak, cepat atau lambat kegiatan bisnis sektor swasta akan sangat terganggu. Oleh karena itu melalui kegiatan lobi, advokasi dan pelaksanaan program CSR dunia usaha dapat berperan serta mendorong terwujudnya iklim bisnis yang kondusif.

Belajar dari kasus Lehman Brothers di Amerika Serikat dan Bank Century di Indonesia, menunjukkan bahwa isu utama dari permasalahan yang kita hadapi sesungguhnya terkait dengan persoalan moral dan etika yang kurang baik, governance yang buruk dan penegakan hukum yang lemah. Untuk itu perlu dibenahi sistem moral dan perilaku melalui proses pendidikan. Secara jangka pendek harus pula dibangun sistem untuk meraih pencapaian dengan cepat (quick win) yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat.

Sebagai contoh,  membangun Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) bertujuan untuk mengubah perilaku buruk seperti surat kaleng, fitnah, ketidakjujuran dan ketidakpercayaan, menjadi perilaku yang jujur, tranparan dan terpecaya. Di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, dorongan peraturan pada fase awal menjadi lebih tepat tanpa harus tidak mengindahkan dorongan pasar dan etika. Secara umum, dorongan peraturan menjadi efektif jika terfokus pada aspek transparansi dan pelaporan.Tentu saja solusi yang dibangun harus ditujukan untuk mengatasi akar permasalahan terutama mengatasi konflik kepentingan, governance yang buruk dan lemahnya penegakan hukum. Jika tidak, permasalahan tersebut tidak akan pernah dapat diatasi secara tuntas.


Rencana pelaksanaan GCG secara normatif bertujuan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif guna mengundang investor lokal dan asing dengan cara menciptakan kepastian hukum, transparansi peraturan dan layanan publik yang prima dengan cara yang efisien serta didukung oleh birokrasi yang bersih dan responsif.

Untuk menciptakan sektor bisnis yang bertanggung jawab dan beretika, ini bisa direalisasikan dengan mengimplementasikan GCG yang sudah menyatu menjadi kultur perusahaan. Pelaksanaan etika bisnis sudah menjadi perilaku bisnis sehari hari, hal yang sama juga berlaku untuk tansparansi sistem keuangan yang diharapkan sudah menjadi norma umum.

 Untuk mempercepat pelaksanaan GCG yang terkait dengan aspek transparansi dan pelaporan didorong melalui regulasi yang dikeluarkan oleh para regulator misalnya Bapepam LK dan Self Regulatory Organization (SRO) di bidang pasar modal, BI di bidang Perbankan, dan Kementerian BUMN. Di bidang persaingan usaha yang sehat dilakukan oleh KPPU.

 Dalam konteks penegakan internal, pelaksanaan GCG dilakukan melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah meningkatkan komitmen bersama untuk melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Governance (TARIF). Untuk tujuan ini perlu dikembangkan rambu-rambu yang mengatur struktur perusahaan, sistem, prosedur dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mematuhi semua ketentuan dan kesepakatan dalam menerapkan prinsip GCG, baik yang wajib maupun yang bersifat sukarela. Tahap kedua adalah melaksanakan dan membangun perusahaan yang terkendali. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sistem kontrol internal dan pengendalian risiko, termasuk pelaksanaan WBS. Sedangkan pada tahap ketiga perusahaan berupaya mengaktualisasikan seluruh kegiatan bisnis yang beretika, sebagai perwujudan warga masyarakat yang baik. Pada tahap ini kegiatan CSR menjadi bagian dari strategis bisnis perusahaan. Pada akhirnya, tujuan perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan dan pengembangan bisnis yang berkelanjutan yang juga merupakan kepentingan dari semua pemangku kepentingan.

Upaya-upaya tersebut diharapkan akan merubah kultur perusahaan. Perubahan kultur perusahaan diawali dengan bergesernya paradigma mengenai keuntungan yang digambarkan sebagai penghargaan terhadap perusahaan dari masyarakat melalui produk dan jasa perusahaan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan terdahulu dimana menggambarkan perusahaan sebagai subyek ekonomi yang semata-mata mengejar keuntungan sebesar-besarnya, perkembangan selanjutnya bergeser menjadi memaksimalkan keuntungan perusahaan yang berkelanjutan.

Dalam hal pembangunan sumber daya manusia, pegawai tidak lagi dianggap sebagai faktor produksi, namun merupakan aset penting dalam perusahaan. Sehingga menjadi penting membangun dan mendidik karyawan sebelum memproduksi produk atau jasa. 

Terkait dengan konsep stakeholder, jika dahulu lebih difokuskan terhadap pemenuhan kepentingan pemegang saham saja, saat ini perusahaan lebih menfokuskan keseimbangan antara kepentingan stakeholder melalui proses bisnis berdasarkan prinsip-prinsip TARIF. Pendek kata, setelah melaksanakan GCG di tahap ketiga, maka hal itu akan mempengaruhi dan mengubah kultur perusahaan terutama yang terkait dengan persepsi tentang keuntungan, sumber daya manusia dan pemangku kepentingan.