Di
beberapa Negara yang memiliki angka indeks persepsi korupsi yang tinggi,
termasuk Indonesia, pada saat ini masih dijumpai banyak perusahaan yang
mengikuti tender menjadi pemasok instansi pemerintah maupun swasta, terpaksa
harus memberikan suap jika ingin menjadi pemenang tender. Keadaan ini terjadi
pada banyak perusahaan meskipun secara internal perusahaan tersebut sudah
berkomitmen untuk melaksanakan GCG.
Ilustrasi
di atas memperlihatkan meski suatu perusahaan telah berketetapan secara
konsisten menerapkan GCG, namun untuk mempertahankan kelangsungan usahanya
dalam suatu lingkungan bisnis yang tidak sehat, pada saat harus berhubungan
dengan pihak ketiga yang tidak menjalankan governance yang baik, pada akhirnya
perusahaan yang bersangkutan terpaksa melanggar prinsip-prinsip GCG.
Hipotesa
yang dibangun adalah, pelaksanaan dan pembenahan GCG tidak dapat dilakukan
sendiri, namun akan sangat bergantung pada 2 pilar yang lain, yakni masyarakat
madani dan penyelenggara negara. Dengan kata lain, pendekatan yang harus
dilaksanakan adalah pendekatan holistik, dimana ada 3 pilar yang saling berkaitan. Pilar pertama adalah pilar Negara
yang terdiri dari Eksekutif, Yudikatif, Legislatif dan Lembaga Non Struktural.
Dan 2 pilar lain yaitu Dunia Usaha dan Masyarakat Madani.
Tanggung jawab dunia bisnis identik dengan melaksanakan
GCG. Lebih dari itu, sektor swasta juga harus peduli untuk berperan serta
memperbaiki 7 isu strategis lainnya, jika tidak, cepat atau lambat kegiatan
bisnis sektor swasta akan sangat terganggu. Oleh
karena itu melalui kegiatan lobi, advokasi dan pelaksanaan program CSR dunia
usaha dapat berperan serta mendorong terwujudnya iklim bisnis yang kondusif.
Belajar
dari kasus Lehman Brothers di Amerika Serikat dan Bank Century di Indonesia,
menunjukkan bahwa isu utama dari permasalahan yang kita hadapi sesungguhnya
terkait dengan persoalan moral dan etika yang kurang baik, governance yang
buruk dan penegakan hukum yang lemah. Untuk itu perlu dibenahi sistem moral dan
perilaku melalui proses pendidikan. Secara jangka pendek harus pula dibangun
sistem untuk meraih pencapaian dengan cepat (quick win) yang dapat mempengaruhi
perubahan perilaku masyarakat.
Sebagai contoh,
membangun Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) bertujuan untuk mengubah
perilaku buruk seperti surat kaleng, fitnah, ketidakjujuran dan
ketidakpercayaan, menjadi perilaku yang jujur, tranparan dan terpecaya. Di
Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, dorongan peraturan pada fase awal
menjadi lebih tepat tanpa harus tidak mengindahkan dorongan pasar dan etika.
Secara umum, dorongan peraturan menjadi efektif jika terfokus pada aspek
transparansi dan pelaporan.Tentu saja solusi yang dibangun harus ditujukan
untuk mengatasi akar permasalahan terutama mengatasi konflik kepentingan,
governance yang buruk dan lemahnya penegakan hukum. Jika tidak, permasalahan
tersebut tidak akan pernah dapat diatasi secara tuntas.
Rencana pelaksanaan GCG secara normatif bertujuan untuk
menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif guna mengundang investor lokal dan
asing dengan cara menciptakan kepastian hukum, transparansi peraturan dan
layanan publik yang prima dengan cara yang efisien serta didukung oleh
birokrasi yang bersih dan responsif.
Untuk menciptakan sektor bisnis yang bertanggung jawab
dan beretika, ini bisa direalisasikan dengan mengimplementasikan GCG yang sudah
menyatu menjadi kultur perusahaan. Pelaksanaan etika bisnis sudah menjadi
perilaku bisnis sehari hari, hal yang sama juga berlaku untuk tansparansi
sistem keuangan yang diharapkan sudah menjadi norma umum.
Untuk mempercepat pelaksanaan GCG yang terkait dengan
aspek transparansi dan pelaporan didorong melalui regulasi yang dikeluarkan
oleh para regulator misalnya Bapepam LK dan Self Regulatory Organization (SRO)
di bidang pasar modal, BI di bidang Perbankan, dan Kementerian BUMN. Di bidang
persaingan usaha yang sehat dilakukan oleh KPPU.
Dalam konteks penegakan internal, pelaksanaan GCG
dilakukan melalui 3 tahap. Tahap pertama adalah meningkatkan komitmen bersama
untuk melaksanakan prinsip-prinsip Corporate Governance (TARIF). Untuk tujuan
ini perlu dikembangkan rambu-rambu yang mengatur struktur perusahaan, sistem,
prosedur dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mematuhi semua ketentuan dan
kesepakatan dalam menerapkan prinsip GCG, baik yang wajib maupun yang bersifat
sukarela. Tahap kedua adalah melaksanakan dan membangun perusahaan yang
terkendali. Hal ini dapat dilakukan dengan membangun sistem kontrol internal
dan pengendalian risiko, termasuk pelaksanaan WBS. Sedangkan pada tahap ketiga
perusahaan berupaya mengaktualisasikan seluruh kegiatan bisnis yang beretika,
sebagai perwujudan warga masyarakat yang baik. Pada tahap ini kegiatan CSR
menjadi bagian dari strategis bisnis perusahaan. Pada akhirnya, tujuan
perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan dan pengembangan bisnis yang
berkelanjutan yang juga merupakan kepentingan dari semua pemangku kepentingan.
Upaya-upaya tersebut diharapkan akan merubah kultur
perusahaan. Perubahan kultur perusahaan diawali dengan bergesernya paradigma
mengenai keuntungan yang digambarkan sebagai penghargaan terhadap perusahaan
dari masyarakat melalui produk dan jasa perusahaan yang diberikan kepada
masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan terdahulu dimana
menggambarkan perusahaan sebagai subyek ekonomi yang semata-mata mengejar
keuntungan sebesar-besarnya, perkembangan selanjutnya bergeser menjadi memaksimalkan
keuntungan perusahaan yang berkelanjutan.
Dalam hal pembangunan sumber daya manusia, pegawai tidak
lagi dianggap sebagai faktor produksi, namun merupakan aset penting dalam
perusahaan. Sehingga menjadi penting membangun dan mendidik karyawan sebelum
memproduksi produk atau jasa.
Terkait dengan konsep stakeholder, jika dahulu lebih
difokuskan terhadap pemenuhan kepentingan pemegang saham saja, saat ini
perusahaan lebih menfokuskan keseimbangan antara kepentingan stakeholder
melalui proses bisnis berdasarkan prinsip-prinsip TARIF. Pendek kata, setelah
melaksanakan GCG di tahap ketiga, maka hal itu akan mempengaruhi dan mengubah
kultur perusahaan terutama yang terkait dengan persepsi tentang keuntungan,
sumber daya manusia dan pemangku kepentingan.