Langkah Pemerintah meminta BUMN untuk membeli kembali
buyback) saham mereka demi menyelamatkan bursa saham
merupakan langkah berbahaya. Demikian disampaikan pengamat
ekonomi Revrisond Baswir dalam diskusi bertajuk Krisis Finansial
Berikut Dampaknya Bagi Indonesia. Sebagian pengamat lain
mengamini kebijakan pemerintah mendorong buyback saham BUMN.
Mereka berdalih bahwa kebijakan ini bukan saja menyelamatkan
bursa, tetapi lebih kepada kesempatan membeli saham murah pada
saat harga tidak wajar, karena sentimen pasar dan aksi jual investor
asing dan investor margin. Pemerintah bakal untung karena bisa
membeli saham dengan harga sangat murah. Argumen yang juga tak
kalah canggih, buyback penting untuk mengirim sinyal positif ke
pasar bahwa pemerintah mampu mengendalikan krisis. Krisis di
pasar modal punya dampak yang mengerikan kalau tidak ditangani
secara benar.
Fiduciary Duty
• Pelaksanaan tugas Direktur dan Komisaris dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik untuk kepentingan perseroan. Mengandung 3 faktor penting:
a. merujuk pada kemampuan & kehati hatian;
b. merujuk pada itikad baik demi tujuan PT;
c. tidak mengambil keuntungan pribadi atas kesempatan milik perseroan.
Doktrin: Piercing the Corporate Veil
• Secara harfiah mempunyai makna menembus tabir perseroan terbatas
• Tanggung jawab perusahaan beralih menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham, direktur, atau komisaris
• Direktur/Komisaris tidak melaksanakan kewajiban fidusia.
• Penerapan GCG akan terhindar dari tereksposnya doktrin piercing the corporate veil.
Business Judgement Rules :
DIREKSI :
. kerugian tersebut bukan karena kesalahannya
. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan
. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Komisaris :
telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan , tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian, dan telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Tugas dan Tanggung Jawab Organ Perusahaan:
“ FIDUCIARY DUTIES” SEBAGAI TANGGUNG JAWAB HUKUM”.
“ GOOD CORPORATE GOVERNANCE” SEBAGAI SISTEM APLIKASI DARI DAN KEPATUHAN TERHADAP “ FIDUCIARY DUTIES”.
“ PIERCING THE CORPORATE VEIL” SUATU DOKTRIN TANGGUNG JAWAB TERBATAS YANG DAPAT TEREKSPOS MENJADI TANGGUNG JAWAB TIDAK TERBATAS.
Pengambilan Keputusan Direksi dan Dewan Komisaris:
Dalam praktek pengambilan keputusan pada bank BUMN, hampir semua keputusan yang strategis harus mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris. Berdasarkan hasil audit oleh
BPK, terungkap ada pengucuran kredit yang pembayaran bunga
dan pengembalian pokok pinjaman menjadi macet. Diduga proses persetujuan pengucuran kredit tersebut tidak mengikuti peraturan kebijakan dan prosedur perusahaan, keputusan pengucuran kredit tersebut juga telah mendapatkan persetujuan
Dewan Komisaris. Sampai seberapa jauh menurut pendapat Anda resiko tanggung renteng yang dihadapi oleh Dewan Komisaris.
Kamis, 28 Mei 2009
Rabu, 13 Mei 2009
PEDOMAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN - SPP (WHISTLEBLOWING SYSTEM – WBS)
PEDOMAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN - SPP(WHISTLEBLOWING SYSTEM – WBS)
Kata Pengantar
Dalam rangka meningkatkan kualitas penerapan corporate governance di Indonesia,Komite Nasional Kebijakan Governance merekomendasikan penyempurnaan sistem maupun manusianya yang berperan sebagai agen-agen perubah. Hal itu diwujudkan dengan mengembangkan “charter member” Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia melalui pintu masuk program Directorship bagi direktur/komisaris, maupun calon direktur/komisaris, penerbitan pedoman Good Corporate Governance, pedoman Good Public Governance, pedoman sektoral perbankan, asuransi dan sebagainya serta pedoman yang bersifat teknis seperti Pedoman Komisaris Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, serta beberapa pedoman teknis lainnya yang akan diluncurkan dalam waktu dekat ini.
Komite Nasional Kebijakan Governance berinisiatif untuk menyusun Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Pedoman SPP) atau lebih dikenal dengan istilah Pedoman Whistleblowing System yang dapat digunakan oleh perusahaan manapun dalam mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing perusahaan.
Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS). Panduan ini sifatnya generik, sehingga perusahaan bisa mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan perusahaan masing-masing. Diharapkan pedoman ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan Corporate Governance di Indonesia. Melalui sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran.
WBS yang efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan karyawan perusahaan untuk lebih berani bertindak untuk mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi dengan melaporkannya ke pihak yang dapat menanganinya. Ini berarti WBS mampu untuk mengurangi budaya “diam” menuju ke arah budaya “kejujuran dan keterbukaan”.
WBS yang efektif memerlukan struktur dan proses yang benar, karena para pelapor memerlukan rasa aman dan jaminan keselamatan untuk mau berpartisipasi dalam mencegah kecurangan dan korupsi. Rasa aman dan jaminan keselamatan baik nyawa dan harta benda baginya serta keluarganya merupakan salah satu aspek penting penerapan WBS. Negara sendiri telah mempersiapkan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melakukan perlindungan tersebut.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyumbangkan waktu dan pemikiran yang tidak ternilai harganya. Kami senantiasa memerlukan dukungan berbagai pihak dalam melaksanakan segala kegiatan guna meningkatkan mutu penerapan Corporate Governance di Indonesia.
Komite Nasional Kebijakan Governance
LATAR BELAKANG
Meningkatnya kejahatan kerah putih di berbagai belahan dunia telah mendorong berbagai negara dan asosiasi usaha untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan semakin meningkatkan tuntutan penerapan good governance baik di sektor swasta maupun publik. Berbagai negara telah membuat panduan corporate governance berdasarkan prinsip dan praktik terbaik yang dianjurkan di dunia, seperti yang dianjurkan dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Principles of Corporate Governance, dan Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) Internal Control Integrated Framework. Bahkan terdapat beberapa negara yang menerbitkan Undang Undang untuk mencegah tindak pidana korupsi dan memastikan agar praktik good governance dijalankan, seperti di Amerika, dengan menerbitkan Foreign Corrupt Practices Act di tahun 1977 dan Sarbanes-Oxley Act di tahun 2002. Dalam upaya mencegah korupsi, Persatuan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan United Nations Convention Against Corruption - 2003 (UNCAC), dimana Indonesia telah meratifikasi hasil konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006. Selain peraturan perundangan, juga dilakukan pengawasan publik, antara lain melalui Transparency International yang mempublikasikan Corruption Perception Index setiap tahun, dan telah menjadi acuan kemajuan pemberantasan korupsi di berbagai negara.
Terkait dengan usaha penerapan good corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).
Efektivitasnya terlihat dari jumlah kecurangan yang berhasil dideteksi dan juga waktu penindakannya yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan cara lainnya. Selain itu, pimpinan organisasi memiliki kesempatan untuk mengatasi permasalahan secara internal dulu, sebelum permasalahan tersebut merebak ke ruang publik yang dapat mempengaruhi reputasi organisasi.
Mempertimbangkan paparan diatas, maka penyelenggaraan whistleblowing system yang efektif perlu digalakkan di setiap organisasi, baik di sektor swasta maupun sektor publik. Whistleblowign System adalah bagian dari sistem pengendalian internal dalam mencegah praktik penyimpangan dan kecurangan serta memperkuat penerapan praktik good governance.
2. MANFAAT WHISTLEBLOWING SYSTEM
Survey yang dilakukan oleh Institute of Business Ethics (2007) menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52%) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu. Keengganan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahui dapat diatasi melalui penerapan Whistleblowing System yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran.
Beberapa manfaat dari penyelenggaraan Whistleblowing System yang baik antara lain adalah:
a. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman;
b. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif;
c. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran;
d. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik;
e. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi;
f. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran;
g. Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan (stakeholders), regulator, dan masyarakat umum; dan
h. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang tindakan perbaikan yang diperlukan.
Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, WBS merupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka WBS dapat menjadi ancaman.
3. IKHTISAR WHISTLEBLOWING SYSTEM
a. Apakah “pelanggaran”(wrongdoing) itu?
Yang dimaksud dengan ”pelanggaran” dalam pedoman ini adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; peraturan/standar industri terkait dan peraturan internal organisasi, serta dapat dilaporkan. Termasuk dalam aktivitas pelanggaran antara lain adalah:
1) Melanggar peraturan perundang-undangan, misalnya pemalsuan tanda tangan, korupsi, penggelapan, mark-up, penggunaan narkoba, perusakan barang.
2) Melanggar pedoman etika perusahaan, misalnya benturan kepentingan, pelecehan, terlibat dalam kegiatan masyarakat yang dilarang.
3) Melanggar prinsip akuntansi yang berlaku umum
4) Melanggar kebijakan dan prosedur operasional perusahaan, ataupun kebijakan, prosedur, peraturan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan.
5) Tindakan kecurangan lainnya yang dapat menimbulkan kerugian finansial ataupun non-finansial
6) Tindakan yang membahayakan keselamatan kerja
b. Apakah “pelaporan pelanggaran” (whistleblowing) itu?
Pelaporan pelanggaran (whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential).
Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu (grievance) ataupun didasari kehendak buruk/fitnah.
c. Siapakah yang disebut “pelapor pelanggaran” (whistleblower)?
Pada dasarnya pelapor pelanggaran (whistleblower) adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor seyogyanya memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan akan sulit untuk ditindaklanjuti.
d. Perlindungan kepada Pelapor (Whistleblower Protection)
Sistem Pelaporan Pelanggaran yang baik memberikan fasilitas dan perlindungan (whistleblower protection) sebagai berikut:
1) Fasilitas saluran pelaporan (telepon, surat, email) atau Ombudsman yang independen, bebas dan rahasia;
2) Perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Perlindungan ini diberikan bila pelapor memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi pelapor. Walaupun diperbolehkan, namun penyampaian pelaporan secara anonim, yaitu tanpa identitas, tidak direkomendasikan. Pelaporan secara anonim menyulitkan dilakukannya komunikasi untuk tindak lanjut atas pelaporan;
3) Perlindungan atas tindakan balasan dari terlapor atau organisasi. Perlindungan dari tekanan, dari penundaan kenaikan pangkat, pemecatan, gugatan hukum, harta benda, hingga tindakan fisik. Perlindungan ini tidak hanya untuk pelapor tetapi juga dapat diperluas hingga ke anggota keluarga pelapor;
4) Informasi pelaksanaan tindak lanjut, berupa kapan dan bagaimana serta kepada institusi mana tindak lanjut diserahkan. Informasi ini disampaikan secara rahasia kepada pelapor yang lengkap identitasnya.
Perlindungan di atas tidak diberikan kepada pelapor yang terbukti melakukan pelaporan palsu dan/atau fitnah. Pelapor yang melakukan laporan palsu dan/atau fitnah dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, misalnya KUHP pasal 310 dan 311 atau peraturan internal organisasi (Pedoman Etika Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama).
e. Perbedaan antara Saksi dengan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang melihat dan mendengar atau mengalami sendiri tindak pelanggaran yang dilakukan terlapor dan bersedia memberikan keterangannya di depan sidang pengadilan. Seorang pelapor mungkin saja menjadi saksi, tetapi tidak semua pelapor dapat menjadi saksi.
Pelapor adalah orang yang melaporkan adanya tindak pelanggaran, tetapi mungkin ia tidak melihat dan mendengar sendiri pelaksanaan tindak pelanggaran tersebut, tetapi mempunyai bukti-bukti surat atau alat bukti petunjuk (rekaman, gambar, dlsb.) bahwa telah terjadi tindak pelanggaran.
4. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN TERKAIT
a. Peraturan perundangan terkait di Indonesia
Walaupun belum terdapat peraturan perundangan yang secara komprehensif mengatur mengenai SPP/WBS, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundangan yang secara parsial menangani pelaporan pelanggaran dan perlindungan pelapor, antara lain:
1) UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelaenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; pasal 9
2) UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 31 dan pasal 41 ayat (2) butir e.
3) Uu No.15 tahun 2002 jo UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pasl 39 s/d 43;
4) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 153 ayat (1) huruf I dan pasal 158 ayat (1) huruf i
5) UU No.7 tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Section 33 UNCAC;
6) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 10 ayat 1;
7) PP No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6;
8) PP No.57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
9) Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Peraturan Internal Perusahaan
Dengan tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS), maka untuk sektor swasta, peraturan pelaksanaan WBS ini haruslah bertumpu pada peraturan internal yang ada,. Peraturan internal perusahaan yang ada antara lain adalah:
1) Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG Code);
2) Pedoman Direksi dan Dewan Komisaris (Board Manual);
3) Pedoman Etika Usaha dan Etika Kerja (Corporate Code of Conduct);
4) Kebijakan Penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System Policy)
Peraturan internal perusahaan ini, terutama Kebijakan Penerapan WBS harus diperhatikan dengan baik, agar tidak terjadi benturan dengan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan KUHP pasal 310 dan 311 yang terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik
RUANG LINGKUP APLIKASI DAN TUJUAN
1. RUANG LINGKUP DAN APLIKASI
Pedoman ini akan menguraikan mengenai elemen-elemen dan aspek-aspek yang diperlukan untuk membangun, mengimplementasikan dan mengelola sistem pelaporan pelanggaran (WBS), dalam suatu organisasi, khususnya terkait dengan perlindungan pelapor. Secara umum pedoman ini dapat digunakan oleh perusahaan, organisasi nirlaba dan lembaga publik. Khusus untuk lembaga pemerintah, perlu dikaji ulang keterkaitannya dengan berbagai peraturan perundangan yang mengatur lembaga pemerintahan tersebut.
Aspek-aspek sistem pelaporan pelanggaran (WBS) ini terdiri dari aspek struktural, aspek operasional dan aspek perawatan (maintenance). Aspek struktural merupakan aspek yang berisikan elemen-elemen infra struktur sistem pelaporan pelanggaran. Aspek Operasional merupakan aspek yang berkaitan dengan mekanisme dan prosedur kerja sistem pelaporan pelanggaran. Aspek perawatan (maintenance) merupakan aspek yang memastikan bahwa sistem pelaporan pelanggaran ini dapat berkelanjutan dan meningkat efektifitasnya
2. TUJUAN
Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS).
Sasaran Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) sendiri adalah:
a. Menciptakan iklim yang kondusif dan mendorong pelaporan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian finansial maupun non-finansial, termasuk hal-hal yang dapat merusak citra organisasi;
b. Mempermudah manajemen untuk menangani secara efektif laporan-laporan pelanggaran dan sekaligus melindungi kerahasiaan identitas pelapor serta tetap menjaga informasi ini dalam arsip khusus yang dijamin keamanannya;
c. Membangun suatu kebijakan dan infra struktur untuk melindungi pelapor dari balasan pihak-pihak internal maupun eksternal;
d. Mengurangi kerugian yang terjadi karena pelanggaran melalui deteksi dini;
e. Meningkatkan reputasi perusahaan.
3. DEFINISI
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah organisasi bisnis atau organisasi nirlaba ataupun organisasi/lembaga pemerintah yang akan menggunakan panduan yang diuraikan dalam Pedoman ini;
b. Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan secara curang atau melawan hukum, oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pengurus Perusahaan, Manajer ataupun karyawan perusahaan, yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan, atau penyalahgunaan wewenang jabatan/kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan tujuan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi;
c. Kecurangan (Fraud) adalah perbuatan tidak jujur yang menimbulkan potensi kerugian ataupun kerugian nyata terhadap perusahaan atau karyawan perusahaan atau orang lain, tetapi tidak terbatas pada pencurian uang, pencurian barang, penipuan, pemalsuan. Juga termasuk dalam perbuatan ini adalah pemalsuan, penyembunyian atau penghancuran dokumen/laporan, atau menggunakan dokumen palsu untuk keperluan bisnis, atau membocorkan informasi perusahaan kepada pihak di luar perusahaan;
d. Perbuatan yang dapat dilaporkan (pelanggaran) adalah perbuatan yang dalam pandangan pelapor dengan iktikad baik adalah perbuatan sebagai berikut:
1) Korupsi;
2) Kecurangan;
3) Ketidakjujuran;
4) Perbuatan melanggar hukum (termasuk pencurian, penggunaan kekerasan terhadap karyawan atau pimpinan, pemerasan, penggunaan narkoba, pelecehan, perbuatan kriminal lainnya)
5) Pelanggaran ketentuan perpajakan, atau peraturan perundang-undangan lainnya (lingkungan hidup, mark-up, under invoice, ketenagakerjaan, dll.);
6) Pelanggaran Pedoman Etika Perusahaan atau pelanggaran norma-norma kesopanan pada umumnya;
7) Perbuatan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja, atau membahayakan keamanan perusahaan;
8) Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian finansial atau non-finansial terhadap perusahaan atau merugikan kepentingan perusahaan;
9) Pelanggaran prosedur operasi standar (SOP) perusahaan, terutama terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pemberian manfaat dan remunerasi.
Perusahaan dapat menambah atau mengurangi daftar perbuatan yang dapat dilaporkan ini untuk mempermudah karyawan perusahaan mendeteksi perbuatan yang dapat dilaporkan.
e. Investigasi adalah kegiatan untuk menemukan bukti-bukti terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan atau perusahaan, yang telah dilaporkan melalui sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system);
f. Karyawan adalah orang yang bekerja pada perusahaan tersebut atau mendapatkan gaji/honor dari perusahaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Komite-Komite Dewan Komisaris.
g. Imunitas administratif adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada perusahaan kepada pelapor (whistleblower) sebagai akibat keterlibatannya dalam tindakan pelanggaran yang dilaporkannya. Contohnya terjadi kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok karyawan dan ia mendapatkan bagian dari hasil kecurangan tersebut, tetapi ia melaporkan adanya kecurangan tersebut, dan mengembalikan porsi yang diterimanya.
h. Petugas yang ditunjuk adalah karyawan yang ditunjuk untuk menjabat salah satu posisi dalam organisasi pelaksana sistem pelaporan pelanggaran; seperti petugas penerima laporan pelanggaran, petugas investigasi pelaporan.
ASPEK STRUKTURAL
PERNYATAAN KOMITMEN
Diperlukan adanya pernyataan komitmen dari seluruh karyawan akan kesediaannya untuk melaksanakan Sistem Pelaporan Pelanggaran dan berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila menemukan adanya pelanggaran. Secara teknis, pernyataan ini dapat dibuat tersendiri, atau dijadikan dari bagian Perjanjian Kerja Bersama, atau bagian dari pernyataan ketaatan terhadap Pedoman Etika Perusahaan.
Pernyataan komitmen ini akan disimpan di bagian Personalia dan salinannya pada bagian pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran. Informasi ini dapat diakses oleh semua pihak yang memerlukannya. Kejelasan komitmen Direksi dan Dewan Komisaris akan sangat mendukung pelaksanaan Sistem Pelaporan Pelanggaran ini.
(Pernyataan komitmen ini penting dan akan merupakan salah satu sumber hukum kepatuhan internal bila terdapat sengketa dalam penerapan sistem ini. Hal ini karena di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang dapat melindungi pelapor pada sektor swasta.)
2. KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PELAPOR
Perusahaan harus membuat kebijakan perlindungan pelapor (whistleblower protection policy). Kebijakan ini menyatakan secara tegas dan jelas bahwa perusahaan berkomitmen untuk melindungi pelapor pelanggaran yang beriktikad baik dan perusahaan akan patuh terhadap segala peraturan perundangan yang terkait serta best practices yang berlaku dalam penyelenggaraan Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System). Kebijakan ini juga menjelaskan maksud dari adanya perlindungan pelapor adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya.
Dalam kebijakan ini perlu ditekankan apa manfaat dan pentingnya Sistem Pelaporan Pelanggaran bagi perusahaan. Selain itu juga perlu ditekankan adanya sanksi bagi pelaporan pelanggaran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan kebijakan ini; misalnya fitnah atau pelaporan palsu.
Dalam kebijakan ini harus dijelaskan secara tegas saluran pelaporan mana yang tersedia untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu juga ada pernyataan bahwa semua laporan pelanggaran akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya oleh perusahaan. Bila pelapor menyertakan identitasnya secara jelas ia juga dijamin haknya untuk memperoleh informasi mengenai tindak lanjut atas laporannya. Hal ini juga merupakan bukti komitmen perusahaan dalam melindungi pelapor.
Kebijakan ini juga menjelaskan bagaimana seorang pelapor dapat mengadukan bila mendapatkan balasan berupa tekanan atau ancaman atau tindakan pembalasan lain yang dialaminya. Saluran pelaporan pengaduan ini harus jelas dan kepada siapa harus mengajukan pengaduan, misalnya, Komite Integritas, Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran, Komite Audit, Komite GCG, atau yang lainnya. Dalam hal masalah ini tidak dapat dipecahkan secara internal, pelapor dijamin haknya untuk membawa ke lembaga independen di luar perusahaan, seperti misalnya mediator atau arbitrase atas biaya perusahaan.
Kebijakan ini perlu menyatakan secara jelas bahwa seorang pelapor pelanggaran akan mendapatkan perlindungan dari perusahaan terhadap perlakuan yang merugikan seperti:
a. Pemecatan yang tidak adil;
b. Penurunan jabatan atau pangkat;
c. Pelecehan atau diskriminasi dalam segala bentuknya;
d. Catatan yang merugikan dalam file data pribadinya (personal file record).
Selain perlindungan di atas, untuk pelapor yang beriktikad baik, perusahaan juga akan menyediakan perlindungan hukum, sejalan dengan yang diatur pada pasal 43 UU No.15 tahun 2002 jo UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 13 UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan pasal 5 PP No.57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu:
a. Perlindungan dari tuntutan pidana dan/atau perdata;
b. Perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dari ancaman fisik dan/atau mental;
c. Perlindungan terhadap harta Pelapor;
d. Perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor; dan/atau
e. Pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan terlapor, pada setiap tingkat pemeriksaan perkara dalam hal pelanggaran tersebut masuk pada sengketa pengadilan.
Dalam hal pelapor merasa perlu, ia juga dapat meminta bantuan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sesuai UU No.13 tahun 2006. Lampiran 1 Pedoman ini memuat panduan berupa checklist hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan perlindungan pelapor.
3. STRUKTUR PENGELOLAAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN
Bagi perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka digunakan acuan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 1 butir 5 menyatakan bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan Dewan Komisaris sesuai Pasal 1 butir 6 UUPT adalah Organ Perseroan yang tugasnya adalah melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Mengingat bahwa WBS adalah bagian dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan. Maka hal ini menjadi masalah kepengurusan perusahaan, dengan demikian kepemimpinan dalam penyelenggaraan Sistem Pelaporan Pelanggaran disarankan berada pada Direksi, khususnya Direktur Utama. Dewan Komisaris akan melakukan pengawasan atas kecukupan dan efektifitas pelaksanaan sistem tersebut.
Bagi perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa saham Australia, London dan New York, mereka juga harus mengikuti ketentuan yang berlaku disana. Ketentuan tersebut adalah ASX Corporate Governance Principles and Recommendations (khususnya ASX Audit and Risk Committee Charter - 2008) untuk Australia; Combined Code on Corporate Governance untuk London dan Sarbanes-Oxley Act untuk New York. Peraturan ini mewajibkan adanya Whistleblowing System dan berada di bawah tanggung jawab Komite Audit. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut di atas, maka kepengurusan WBS dapat diletakkan di bawah kepengurusan Komite Audit.
Untuk organisasi nirlaba, bila akan menyusun struktur pengelolaan WBS, perlu mengacu pada peraturan perundangan terkait (misalnya UU tentang Yayasan) dan anggaran dasar organisasi nirlaba tersebut. Begitu juga halnya dengan lembaga pemerintahan.
a. Unit Pengelola WBS
Unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran, harus merupakan fungsi atau unit yang independen dari operasi perusahaan sehari-hari dan mempunyai akses kepada pimpinan tertinggi perusahaan. Unsur dari unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS) terdiri dari dua elemen utama yaitu:
1) Sub-unit Perlindungan Pelapor: yaitu sub-unit yang menerima pelaporan pelanggaran, menyeleksi laporan pelanggaran untuk diproses lebih lanjut oleh sub-unit investigasi tanpa membuka identitas pelapor. Sub-unit ini juga bertanggung jawab atas pelaksanaan program perlindungan pelapor sesuai dengan kebijakan yang telah dicanangkan, terutama aspek kerahasiaan dan jaminan keamanan pelapor. Untuk keperluan ini petugas pada sub-unit ini haruslah mendapatkan akses terhadap bantuan hukum, keuangan dan operasional bila diperlukan.
2) Sub-unit Investigasi: yaitu sub-unit yang bertugas untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap substansi pelanggaran yang dilaporkan. Tujuannya adalah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan guna memastikan bahwa memang telah terjadi pelanggaran. Dalam hal terdapat bukti-bukti yang memadai, maka rekomendasi sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan diberikan kepada Direksi untuk memutuskan. Akan tetapi bila tidak ditemukan bukti-bukti yang mencukupi, maka proses investigasi dihentikan dan laporan pelanggaran tidak dilanjutkan. Untuk keperluan tugasnya pejabat dalam unit ini haruslah mendapatkan bantuan akses operasional dan informasi terhadap seluruh unit yang diinvestigasi.
Selain kedua sub-unit tersebut, juga diperlukan suatu komite khusus untuk menangani keluhan ataupun pengaduan dari pelapor yang mendapatkan tekanan atau perlakuan atau ancaman dari terlapor. Komite ini sebaiknya dikelola oleh Dewan Komisaris, dipimpin oleh Komisaris Utama. Komite ini dapat disebut sebagai Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran. Gambar 1 merupakan salah satu contoh struktur organisasi unit pengelola harian Sistem Pelaporan Pelanggaran.
Apabila tidak dibentuk suatu unit tersendiri, maka pengelolaan Sistem Pelaporan Pelanggaran dapat diserahkan kepada Satuan Pengawasan Intern (SPI)/Internal Audit dengan dibantu oleh bagian Hukum dan Sumber Daya Manusia. Begitu pula pemantauan pelaksanaan SPP/WBS dapat diserahkan kepada Komite Audit atau Komite lainnya.
b. Penunjukan Petugas Pelaksana SPP/WBS
Proses seleksi petugas unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran seyogyanya dilaksanakan oleh pihak yang profesional dan independen, sehingga hasil yang diperoleh relatif lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa bebas dari unsur-unsur kepentingan pribadi. Kandidat yang lolos dari seleksi ini kemudian diajukan ke Direksi dan Dewan Komisaris untuk mendapatkan persetujuan.
Beberapa kriteria untuk Petugas Perlindungan Pelapor antara lain adalah:
a. Dapat dipercaya;
b. Mampu berkomunikasi dan berhubungan dengan baik serta dapat meyakinkan orang;
c. Dapat “berdiplomasi” dengan baik dan cukup taktis, tanpa membuat marah lawan bicaranya; dan
d. Mampu bersifat obyektif dan tegas.
Beberapa kriteria untuk Petugas Investigasi antara lain adalah:
a. Mempunyai integritas yang tinggi;
b. Mempunyai kemampuan untuk melakukan investigasi;
c. Kemampuan analisa yang tinggi;
d. Kemampuan melakukan penilaian dengan baik (sound judgement);
e. Obyektif;
f. Memiliki kemampuan komunikasi yang baik; dan
g. Memiliki kemampuan berdiplomasi yang baik.
4. SUMBER DAYA
Sumber daya yang memadai harus tersedia untuk dapat melaksanakan program Sistem Pelaporan Pelanggaran. Sumber daya yang diperlukan antara lain adalah:
a. Kecukupan kualitas dan jumlah personil untuk melaksanakan tugas sebagai Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi;
b. Media komunikasi (telepon, email, kotak pos) untuk keperluan pelaporan pelanggaran, baik saluran internal maupun eksternal, sesuai dengan kebutuhan;
c. Pelatihan yang memadai bagi para petugas pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran;
d. Dukungan dan komitmen pendanaan penyelenggaraan WBS; dan
e. Mekanisme untuk melakukan banding/pengaduan atas tindakan balasan dari terlapor.
ASPEK OPERASIONAL
1. KEWAJIBAN HUKUM UNTUK MELAKUKAN PELAPORAN PELANGGARAN
Apakah ada kewajiban hukum bagi karyawan untuk melaporkan adanya pelanggaran bila ia mengetahui hal itu? Bagi masyarakat umum atau karyawan biasa, maka melaporkan suatu pelanggaran adalah hak (UU 31/1999 pasal 41 dan KUHAP pasal 1 butir 21) dan bukan kewajiban. Ini artinya ia boleh melaporkan dan juga boleh tidak melaporkan adanya pelanggaran tersebut.
Bagaimanakah dengan pejabat yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk menangani pelanggaran? Bagi pejabat yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk menangani pelanggaran, maka ia wajib menangani terjadinya pelanggaran tersebut segera setelah ia mengetahuinya atau menerima laporan atas hal tersebut.
Sesuai dengan uraian di atas, maka tidak disarankan untuk menjadikan kewajiban hukum bagi karyawan melaporkan terjadinya pelanggaran bila ia melihatnya. Yang lebih penting untuk disampaikan adalah kesadaran perlunya menyampaikan adanya pelanggaran demi kepentingan dan kemaslahatan bersama serta manfaat untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan menyebar luas, seperti misalnya kebiasaan penerimaan atau pemberian gratifikasi.
Pertimbangan hukum lainnya yang dapat digunakan adalah kewajiban pengawasan karyawan senior (respondeat superior) seperti diatur dalam KUH Perdata 1367. Selain itu prinsip duty of care and dilligent yang menjadi kewajiban Direksi yang kemudian diteruskan kepada karyawan di bawahnya. Panduan lain adalah panduan secara etis, bila kita melihat hal-hal yang dapat membahayakan nyawa karyawan lain, maka ada kewajiban moral untuk melaporkannya kepada pejabat terkait. Hal ini khususnya di dalam industri pertambangan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Ini berarti bila tidak ada ketentuan hukum yang jelas terkait dengan delik omisi, maka tidak disarankan untuk mewajibkan secara hukum bagi karyawan melaporkan adanya pelanggaran. Kewajiban tersebut hanyalah kewajiban moral dan tidak ada sanksi hukum; yang ada adalah sanksi moral saja bila membiarkan terjadinya pelanggaran, tanpa berbuat sesuatu.
2. PERANAN MANAJER DALAM PENERAPAN WBS
Manager maupun posisi lain yang memiliki fungsi pengawas (supervisory/oversight) mempunyai kewajiban pengawasan terhadap karyawan-karyawan di bawahnya. Ini berarti ia juga mempunyai kewajiban penegakan kepatuhan (compliance) dan etika perusahaan dalam lingkup tugasnya (prinsip respondeat superior). Oleh karena itu, Direksi perlu untuk memberikan perhatian dan peran bagi para Manager Senior, Manajer Madya dan Manajer Lini Pertama untuk ikut terlibat dalam penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran. Keterlibatan mereka akan mendorong iklim keterbukaan untuk saling mengingatkan bila terjadi hal-hal yang melanggar ketentuan yang berlaku, tanpa adanya rasa sakit hati.
Modus yang dapat digunakan adalah mendorong agar setiap karyawan berkonsultasi dengan atasannya bila ia melihat atau mengkhawatirkan adanya pelanggaran yang berdampak pada keselamatan operasi, kerugian finansial, atau risiko lainnya. Hal ini mungkin akan sulit dilakukan bila ternyata atasan tersebut juga terlibat dalam kecurangan yang ia akan diskusikan. Apabila demikian maka ada baiknya ia berkonsultasi dengan atasan dari atasan yang terlibat. Bila hal ini tidak berhasil, barulah digunakan saluran yang disediakan oleh Sistem Pelaporan Pelanggaran.
Mekanisme diatas dapat dipandang sebagai cara untuk menciptakan iklim kepatuhan terhadap peraturan dan pedoman etika dan sekaligus mendorong keterbukaan dalam penegakannya. Mekanisme tersebut juga akan meningkatkan tanggung jawab para manager dalam penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran, karena ia tahu bahwa ada mekanisme lain untuk melaporkan pelanggaran.
Namun, terdapat pandangan bahwa mekanisme tersebut menjadikan identitas pelapor untuk mudah diketahui oleh pihak lain dan tidak terkecuali oleh si terlapor, sehingga faktor keamanan dan kerahasiaannya sudah tidak berarti lagi. Hal yang lain adalah dengan dilakukannya konsultasi terlebih dahulu, memberikan kesempatan bagi terlapor untuk memusnahkan bukti pelanggaran atau bahkan mengkoreksi pelanggaran yang dilakukan.
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan di atas, maka menjadi kewajiban Direksi untuk mendapatkan “buy-in” dari seluruh jajaran manajemen di bawahnya mengenai manfaat dan pentingnya penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran ini (WBS). Hanya dengan dukungan seluruh jajaran manajemen, maka keberhasilan dan manfaat penerapan WBS ini dapat dinikmati perusahaan.
3. PELAPORAN ANONIM
Pelaporan pelanggaran dapat dilakukan secara anonim maupun dengan dilengkapi identitas pelapor. Untuk perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa saham New York, maka pelaporan yang anonim merupakan sesuatu yang dilindungi dalam Sarbanes-Oxley Section 301.
Untuk perusahaan lain, maka dalam situasi dimana terdapat budaya perusahaan yang kondusif terhadap keterbukaan, kekhawatiran (concern) kemungkinan terjadinya pelanggaran dapat diutarakan secara terbuka. Hal ini akan memudahkan perusahaan untuk menangani kekhawatiran tersebut, karena potensi pelanggarannya juga jelas dan juga dimana kemungkinan terjadinya pelanggaran tersebut.
Penyampaian secara terbuka adalah kondisi yang ideal, akan tetapi dalam praktek sangat sulit dijumpai. Oleh karena itu penyampaian pelaporan secara rahasia masih menjadi pilihan utama. Bahkan keberanian menyertakan identitas dalam menyampaikan laporan juga masih diliputi keraguan, khususnya terhadap kemungkinan pembalasan.
Penyampaian laporan secara anonim, tetap akan diterima, tetapi harus disadari bahwa terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Hal tersebut adalah timbulnya kesulitan untuk komunikasi, konfirmasi atau klarifikasi dalam rangka tindak lanjut penanganan laporan pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi anonimitas laporan, perusahaan harus memastikan bahwa kebijakan perlindungan pelapor, kerahasiaan pelapor dan jaminan keamanan betul-betul-betul dapat terlaksana dan dirasakan oleh seluruh karyawan.
4. MEKANISME PENYAMPAIAN LAPORAN PELANGGARAN
a. Infrastruktur dan Mekanisme Penyampaian Laporan
Perusahaan harus menyediakan saluran khusus yang digunakan untuk menyampaikan laporan pelanggaran, entah itu berupa email dengan alamat khusus yang tidak dapat diterobos oleh bagian IT perusahaan, atau kotak pos khusus yang hanya boleh diambil petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS), ataupun saluran telepon khusus yang akan dilayani oleh petugas khusus pula.
Informasi mengenai adanya saluran ini dan prosedur penggunaannya haruslah diinformasikan secara meluas ke seluruh karyawan. Begitu pula bagan alur penanganan pelaporan pelanggaran haruslah disosialisasikan secara meluas, dan terpampang di tempat-tempat yang mudah diketahui oleh karyawan perusahaan.
Dalam prosedur penyampaian laporan pelanggaran juga harus dicantumkan dalam hal pelapor melihat bahwa pelanggaran dilakukan oleh Petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran harus dikirimkan langsung kepada Direktur Utama perusahaan.
Sesuai dengan kebijakan perlindungan pelapor, pelapor yang mengirimkan laporan yang berupa fitnah atau laporan palsu akan memperoleh sanksi dan tidak memperoleh baik jaminan kerahasiaan maupun perlindungan pelapor. Sanksi yang dapat dijatuhkan dapat diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Pedoman Etika Perusahaan atau bila perlu dapat mengacu pada KUHP pasal 310 dan 311
b. Kerahasiaan (Confidentiality) dan Perlindungan Pelapor
Pelapor yang menginginkan dirinya tetap dirahasiakan haruslah diberi jaminan atas kerahasiaan identitas pribadinya. Sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilaporkan, perlu diingatkan bahwa bila hal ini akan sampai ke pengadilan ada kemungkinan proses hukum memerlukan kesaksian ataupun pernyataannya. Dalam keadaan semacam ini tentu identitasnya akan dibuka. Perlindungan hukum yang paling maksimal adalah perlindungan hukum seperti yang dijamin dalam kebijakan perlindungan pelapor yaitu pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan terlapor pada setiap tingkat pemeriksaan perkara.
Informasi dan identitas pelapor pelanggaran dibatasi hanya pada Petugas Perlindungan Pelapor dan berkasnya disimpan pada tempat yang aman. Petugas Perlindungan Pelapor akan memeriksa apakah informasi pelanggaran ini memang berada pada jalur yang benar serta memerlukan tindak lanjut investigasi. Bila tidak, maka akan disampaikan kepada pelapor untuk menyampaikan laporan atau keluhannya pada jalur yang sesuai untuk itu. Bila benar, maka informasi mengenai pelanggaran akan disampaikan hanya kepada petugas investigasi. Penyampaian informasi untuk proses investigasi dilakukan tanpa mengungkapkan sumber informasi.
Selain jaminan kerahasiaan, pelapor yang beriktikad baik juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan kebijakan perlindungan pelapor seperti diuraikan pada bagian III.2 pedoman ini.
c. Kekebalan Administratif
Perusahaan hendaknya mengembangkan budaya yang mendorong karyawan untuk berani melaporkan tindakan pelanggaran yang diketahuinya. Hal ini dilakukan dengan memberikan kekebalan atas sanksi administratif kepada para pelapor yang beriktikad baik.
Kebijakan tersebut diatas dapat diberikan kepada pelapor yang belum pernah melakukan pelanggaran berat, atau bila dia “terpaksa” terlibat dalam pelanggaran berat, tetapi dengan iktikad baik melaporkan adanya pelanggaran tersebut. Perlu dipahami bahwa kekebalan terhadap sanksi administratif ini hanya berlaku internal perusahaan. Perusahaan tidak dalam posisi untuk memberikan kekebalan hukum, kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam undang-undang atau diberikan oleh Jaksa, Penuntut Umum (hak opportunitas).
d. Komunikasi dengan Pelapor.
Komunikasi dengan Pelapor akan dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas Perlindungan Pelapor yang menerima laporan pelanggaran. Dalam komunikasi ini pelapor juga akan memperoleh informasi mengenai penanganan kasus yang dilaporkannya, apakah dapat ditindaklanjuti atau tidak.
Bila pelapor adalah karyawan perusahaan, maka perusahaan memberikan informasi perkembangan penanganan hasil pelaporan pelanggaran tersebut. Pemberian informasi ini dilakukan dengan mengingat azas kerahasiaan antara pelapor dengan perusahaan, termasuk di dalamnya kerahasiaan terhadap apa yang terjadi pada terlapor. Pembocoran sifat kerahasiaan ini oleh pelapor akan menghapuskan kewajiban perusahaan atas jaminan kerahasiaan yang diberikan kepadanya dan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan hilangnya perlindungan kepada pelapor.
Dalam hal pelapor adalah orang luar dan bukan karyawan perusahaan, kebijakan komunikasi dengan pelapor ini dapat diberikan kepadanya. Hal ini berlaku bila ia bersedia menandatangani kesepakatan tertulis tentang kerahasiaan informasi baik yang ia terima dari perusahaan, maupun yang disampaikan kepada perusahaan.
5. INVESTIGASI
a. Pelaksanaan Investigasi
Komunikasi dengan Pelapor akan dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas Perlindungan Pelapor yang menerima laporan pelanggaran.
Semua laporan mengenai pelanggaran akan dilakukan investigasi lebih lanjut, dengan tujuan untuk sedapat mungkin mengumpulkan semua bukti yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah laporan pelanggaran tersebut benar adanya atau bahkan sebaliknya, ditemukan tidak cukup bukti untuk mendukung dilakukan tindak lanjut.
Investigasi ini akan dilakukan oleh Petugas Sub-unit Investigasi; selain itu juga sangat disarankan untuk melibatkan bagian Internal Audit/Satuan Pengawasan Intern (SPI) dalam proses investigasi ini. Independensi petugas investigasi ini penting, karena obyektifitas dan kewajaran serta keadilan dalam memberikan penilaian hasil temuan akan menentukan kredibilitas pelaksanaan Sistem Pelaporan Pelanggaran/WBS. Proses investigasi harus bebas dari bias dan dilakukan tidak tergantung dari siapa yang melaporkan ataupun siapa yang terlapor. Terlapor harus diberi kesempatan penuh untuk memberikan penjelasan atas bukti-bukti yang ditemui, termasuk pembelaan bila diperlukan.
Dalam kasus yang serius dan sensitif, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen dalam melakukan investigasi laporan pelanggaran tersebut.
b. Prinsip Pelaksanaan Investigasi
Pelaksanaan investigasi, hendaknya dilaksanakan dengan mengingat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Investigasi dilaksanakan sesuai dengan alokasi sumber daya yang disediakan, sehingga prinsip pengelolaan proyek terkait dengan sasaran, waktu dan biaya harus digunakan. Karenanya sasaran dan tahapan proses investigasi harus dinyatakan secara jelas;
2) Proses investigasi ini harus terbuka terhadap kemungkinan review secara administratif, operasional dan yudisial. Maka, rekam jejak investigasi (audit trail) harus terdokumentasi dengan baik, sehingga dapat ditinjau ulang proses investigasi terkait dengan sasaran yang ingin dicapai dan juga keputusan-keputusan penting yang diambil selama proses berlangsung;
3) Pengelolan proses investigasi harus cukup fleksibel. Komunikasi yang digunakan harus jelas dan tidak mengambang, pendekatan secara multi disiplin kalau perlu harus digunakan. Dalam hal beberapa tahapan prosedur tidak dapat dilaksanakan, mungkin perlu dicari solusi yang kompromistis dan dapat diterima oleh semua pihak, tanpa kehilangan sasaran dan tujuan. Dalam kondisi semacam ini mungkin diperlukan pendapat ahli dari eksternal.
6. PELAPORAN
Mekanisme pelaporan internal Sistem Pelaporan Pelanggaran harus dirancang sedemikan rupa sehingga dapat memastikan bahwa:
a. Semua pelanggaran yang telah dilaporkan dan diverifikasi telah tertangani dengan baik;
b. Pelanggaran yang berulang dan sistemik telah dilaporkan kepada pejabat terkait yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbaikan, misalnya pelanggaran di bidang pengadaan barang dan jasa dilaporkan kepada Direktur Umum yang membawahi bagian pengadaan.
Petugas pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran (Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi) harus mendapatkan akses pelaporan langsung kepada Direktur Utama dengan tembusan ke Komisaris Utama selaku Ketua Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran (bila dibentuk), Ketua Satuan Pengawasan Intern/Internal Audit.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota Direksi, atau orang yang mempunyai hubungan khusus dengan anggota Direksi, maka laporan pelanggaran disampaikan kepada Komisaris Utama. Penanganan lebih lanjut diserahkan kepada Dewan Komisaris dan bila diperlukan investigasi, disarankan untuk menggunakan investigator/auditor luar yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan kepada Direktur Utama. Pananganan lebih lanjut atas laporan pelanggaran tersebut dilakukan oleh Direksi, dan bila diperlukan investigasi, disarankan menggunakan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan langsung kepada Direktur Utama, sesuai dengan prosedur yang diuraikan pada butir 2 a. Pananganan lebih lanjut atas laporan pelanggaran tersebut dilakukan oleh Direksi, dan bila diperlukan investigasi, disarankan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan kepada penegak hukum yang berwenang seperti Polisi, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
7. EFEKTIVITAS WBS
Suatu program Sistem Pelaporan Pelanggaran dapat dikatakan efektif bila dapat menurunkan jumlah pelanggaran akibat diterapkannya program SPP/WBS selama jangka waktu tertentu. Efektifitas penerapan SPP/WBS antara lain tergantung dari:
a. Kondisi yang membuat karyawan yang menyaksikan atau mengetahui adanya pelanggaran mau untuk melaporkannya;
b. Sikap perusahaan terhadap pembalasan yang mungkin dialami oleh pelapor pelanggaran;
c. Kemungkinan tersedianya akses pelaporan pelanggaran ke luar perusahaan, bila manajemen tidak mendapatkan respon yang sesuai.
Pemenuhan butir a dapat dilaksanakan antara lain melalui:
• Peningkatan pemahaman etika perusahaan dan membina iklim keterbukaan;
• Meningkatnya kesadaran dan pemahaman yang luas mengenai manfaat dan pentingnya program SPP/WBS;
• Tersedianya saluran untuk menyampaikan pelaporan pelanggaran tidak melalui jalur manajemen yang biasa;
• Kemudahan menyampaikan laporan pelanggaran;
• Adanya jaminan kerahasiaan (confidentiality) pelapor.
Butir b merupakan kebijakan yang harus dijelaskan kepada seluruh karyawan terkait dengan Kebijakan Perlindungan Pelapor. Kebijakan ini harus dijelaskan secara meluas dan rinci, termasuk dengan dampaknya pada karir pelapor, termasuk tidak ada catatan yang dapat menimbulkan bias pada file pribadi pelapor. Direksi harus menunjukkan komitmen dan kepemimpinannya untuk memastikan bahwa kebijakan ini memang dilaksanakan. Materi informasi dalam bentuk tertulis akan sangat membantu proses ini.
Sedangkan untuk butir c, diperlukan kebesaran hati Direksi untuk memberikan jaminan bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah, bila memang respon manajemen kurang baik. Akan tetapi manajemen berjanji untuk menangani setiap laporan pelanggaran dengan serius dan benar.
Kondisi-kondisi yang diuraikan di atas haruslah dipersiapkan dengan benar sebelum dilakukan peluncuran penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS).
8. PROSES PELUNCURAN SPP/WBS
Dalam proses peluncuran SPP/WBS ini perlu diperhatikan aspek manajemen perubahan dalam memperkenalkan sesuatu yang menuntut suatu perubahan perilaku. Penerapan SPP/WBS diharapkan akan mendorong budaya keterbukaan dan kejujuran dan mengurangi budaya diam.
Setiap introduksi program baru dalam organisasi, terdapat beberapa tahapan transisi, sebelum program tersebut dapat berfungsi secara efektif. Tahap pertama adalah penolakan; dalam tahap ini semua orang mempertanyakan kegunaannya, karena sudah merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Tahap kedua adalah perlawanan; dalam tahap ini mereka mulai melihat manfaatnya tetapi masih ragu dan enggan untuk melaksanakannya. Sebaiknya orang lain dulu dan jangan saya. Tahap ketiga adalah tahap eksplorasi; dimana orang sudah melihat dengan jelas manfaat dan kegunaannya dan mulai timbul keinginan untuk memahami dan melakukan eksplorasi lebih jauh. Tahap terakhir adalah komitmen untuk melakukan perubahan tersebut; pada tahap ini proses perubahan akan berlangsung dengan baik.
Proses tersebut juga dialami oleh Top Management, Line Management dan seluruh karyawan. Oleh karena itu proses perubahan tersebut harus dimulai dari Top Management terlebih dahulu, sehingga mereka dapat berperan sebagai Change Leader yang akan diikuti oleh Middle Management. Kemudian Middle Management akan menjadi Change Leader yang akan diikuti oleh Line Management. Proses yang sama akan dilakukan oleh Line Management yang akan berfungsi sebagai Change Leader bagi seluruh karyawan.
Dengan pemahaman di atas maka proses peluncuran SPP/WBS diatur dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap persiapan awal, meliputi penyusunan infrastruktur organisasi, penunjukan pejabat yang ditunjuk dan pelatihannya;
b. Tahap persiapan lanjutan, meliputi penyusunan pernyataan komitmen dan kebijakan pelaksanaan SPP/WBS, persiapan mekanisme dan infrastruktur pelaporan, sistem dan prosedur kerja, petunjuk-petunjuk dan media promosi (misal poster, spanduk, booklet, dll.) yang diperlukan. Sebelum acara peluncuran, Direksi dan Dewan Komisaris harus memperoleh briefing secara lengkap dan rinci mengenai program Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) ini;
c. Acara resmi peluncuran SPP/WBS yang sifatnya seremonial dapat dilakukan apabila dianggap perlu, antara lain dengan acara penandatanganan Pernyataan Komitmen Direksi dan Komisaris, kemudian diikuti dengan para pejabat manajemen senior (senior managers) dan memperkenalkan para petugas pelaksana SPP/WBS;
d. Sosialisasi untuk pejabat manajemen, meliputi workshop untuk para Manajer Senior; workshop untuk para Manajer Madya dan para Manajer Lini Pertama, serta pelatihan Training for Trainer untuk manajer. Tujuannya adalah agar para pejabat manajemen dapat memahami keseluruhan proses WBS, sehingga mereka mampu untuk menjadi fasilitator atau pelatih (trainer) di masing-masing unitnya;
e. Sosialisasi untuk karyawan, meliputi workshop atau pelatihan dengan instruktur para manager unit kerja terkait dan dengan menggunakan materi sosialisasi yang telah disiapkan oleh fungsi atau unit SPP/ WBS; dan
f. Implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran secara penuh
BAGIAN V
ASPEK PERAWATAN
1. PELATIHAN DAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan perlu dilakukan untuk memastikan agar setiap individu dalam perusahaan terus dibekali dengan pengetahuan dan perkembangan praktik WBS, dan mencakup hal-hal dibawah ini:
a. Pelatihan etika dan budaya perusahaan yang mendorong terjadinya “budaya kejujuran dan keterbukaan”. Pelatihan ini diikuti oleh seluruh jajaran karyawan perusahaan dan didukung dengan pernyataan berkala (tahunan) untuk patuh dan berlaku etis sesuai dengan Pedoman Etika perusahaan.
b. Pelatihan secara masif (massive training) mengenai tata cara untuk berperan serta dalam program Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) yang meliputi:
1) Bagaimana caranya menyampaikan pelaporan pelanggaran;
2) Pilihan untuk menyampaikan secara anonim atau dengan memberikan identitas, tetapi dengan jaminan kerahasiaan. Disarankan untuk melakukan pilihan menggunakan identitas dengan jaminan kerahasiaan dan didukung dengan penjelasan rinci apa makna jaminan kerahasiaan ini dan manfaatnya;
3) Penjelasan yang rinci mengenai Kebijakan Perlindungan Pelapor yang diberlakukan untuk pelapor yang beriktikad baik dan jaminan Direksi serta Komisaris untuk melaksanakannya;
4) Tindakan disiplin bila melakukan fitnah dan pelaporan palsu melalui jalur ini.
5) Insentif (bila ada) bagi pelapor yang atas laporannya pelanggaran tersebut dapat diatasi dan kerugian yang lebih besar dapat dihindari.
6) Penjelasan mengenai manfaat dan pentingnya program ini bagi perusahaan.
c. Pelatihan dan pendidikan berlanjut untuk para petugas pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran. Materi pelatihan ini antara lain:
1) Teknik investigasi;
2) Teknik komunikasi dan konseling;
3) Teknik mengevaluasi pelaporan pelanggaran;
4) Bagaimana menangani isu yang sensitif dan kritis;
5) Memahami peran line management dalam program WBS dll.
Pelatihan dan pendidikan di atas tidak hanya dilakukan sekali, tetapi dilakukan secara berkala. Pada tahap pertama dilakukan untuk semua jajaran karyawan perusahaan, pada tahun kedua dapat ditingkatkan dengan membahas kasus-kasus yang terjadi tahun sebelumnya dan pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus tersebut serta bagaimana mencegah berulangnya. Program pelatihan ini dapat disatukan dengan program pelatihan etika dan budaya perusahaan atau program kepatuhan lainnya.
Pelatihan ini adalah pelatihan wajib bagi seluruh karyawan baru. Untuk anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris baru yang berasal dari luar perusahaan, pengenalan ini harus dimasukkan dalam program induksi mereka.
2. KOMUNIKASI BERKALA
Komitmen perusahaan untuk menyelenggarakan komunikasi berkala mengenai hasil penerapan program Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS) akan menentukan dukungan karyawan terhadap program ini, khususnya penciptaan “budaya kejujuran dan keterbukaan”. Kegagalan melakukan komunikasi berkala akan memperkuat kembali “budaya diam”, bahkan dapat lebih kuat karena hilangnya kepercayaan terhadap pimpinan perusahaan.
Pelaksanaan komunikasi berkala ini dapat dilakukan antara lain melalui:
a. Publikasi berkala tiap tiga atau enam bulan di situs perusahaan dan media internal (majalah, newsletter, dll.) kegiatan yang dilaksanakan, seperti misalnya pelatihan, jumlah kasus yang telah ditangani dan manfaat yang diperoleh, dlsb;
b. Menempatkan FAQ (Frequently Asked Questions) “pertanyaan yang sering diajukan” pada situs internal perusahaan;
c. Penerbitan Buku Panduan WBS bagi Manager dan karyawan;
d. Pertemuan berkala dengan Serikat Pekerja dengan agenda penjelasan SPP/WBS dan manfaatnya bagi perusahaan.
e. Memasukan agenda SPP/WBS sebagai salah satu agenda Management Meeting.
3. INSENTIF BAGI PELAPOR
Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab III mengatur mengenai bentuk dan besarnya penghargaan yang diberikan. Penghargaan dapat berupa uang atau piagam dan besar premi atau penghargaan berupa uang adalah dua per seribu (dua permil) dari besarnya kerugian pemerintah yang berhasil dikembalikan.
Perusahaan perlu mempertimbangkan adanya penghargaan bagi pelapor yang besarnya cukup menarik untuk lebih mendorong mereka yang menyaksikan tetapi tidak melaporkan menjadi tertarik untuk melaporkan adanya pelanggaran . Hal ini dapat menjadi percepatan untuk merubah “budaya diam” menjadi “budaya kejujuran dan keterbukaan”.
4. PEMANTAUAN EFEKTIFITAS DAN PERBAIKAN PROGRAM
Penerapan program SPP/WBS memerlukan upaya yang tidak kecil, oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan secara berkala efektifitas penerapannya. Komite Pemantau SPP/WBS dari Dewan Komisaris selayaknya melakukan audit dan tinjauan berkala (review) terhadap efektifitas penerapan program SPP/WBS. Pelaksanaan audit dan review ini dapat dilakukan sendiri oleh Komite Pemantau Etika atau Auditor Internal/Satuan Pengawasan Intern atau menggunakan pihak luar yang independen.
Perusahaan perlu melakukan monitoring dan review ini untuk memastikan efektifitas penerapan SPP/WBS sehingga dapat memenuhi sasaran yang telah ditetapkan pada awal pencanangan program dan juga memastikan bahwa pencapaian tersebut sesuai dengan tuntutan bisnis perusahaan. Dalam hal ditemukan masih terdapat kesenjangan maka melalui monitoring dan review ini diperoleh kesempatan untuk melakukan perbaikan
Montoring dan review ini harus dilakukan setidaknya sekali dalam setahun.
5. BENCHMARKING
Benchmarking merupakan suatu upaya untuk mengukur seberapa jauh kinerja kita dalam melaksanakan program SPP/WBS dengan membandingkan perusahaan lain yang juga melaksanakan. Melalui proses ini kita akan melakukan studi banding penerapan SPP/WBS dengan perusahaan lain.
Melalui benchmarking dapat dilakukan tukar menukar pengalaman dan pengetahuan mengenai penerapan SPP/WBS. Bila perusahaan lain lebih baik, maka dapat dilakukan pembelajaran darinya; tetapi bila tidak, maka perusahaan berkewajiban untuk berbagi ilmu dan pengetahuan. Melalui proses benchmarking, dapat dilakukan penyebaran penerapan SPP/WBS secara lebih cepat, sehingga upaya pencegahan kecurangan dalam perusahaan dapat ditingkatkan, dan pada gilirannya upaya pencegahan korupsi dapat juga ditingkatkan.
LAMPIRAN
Lampiran 1: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan SPP/WBS
1. Pernyataan komitmen terhadap pembentukan budaya kepatuhan dan perilaku etis secara umum (Compliance and Ethics programme);
2. Pernyataan komitmen terhadap program penerapan Sistem Penerapan Pelaporan (Whistleblowing System);
3. Dokumen resmi yang menjelaskan manfaat dan pentingnya SPP/WBS bagi perusahaan dan alasan penerapannya di perusahaan;
4. Dokumen resmi yang memberikan penjelasan tata cara (prosedur) pelaporan pelanggaran dan kepada siapa laporan pelanggaran disampaikan dan media apa yang tersedia untuk menyampaikan laporan ini;
5. Dokumen resmi yang menyatakan perilaku apa saja yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran dengan menggunakan jalur SPP/WBS;
6. Penjelasan resmi siapa sajakah yang dapat memanfaatkan jalur SPP/WBS dalam melaporkan pelanggaran yang diketahuinya (karyawan, supplier, masyarakat umum);
7. Panduan untuk memastikan bahwa apa yang dilaporkan memang betul-betul merupakan pelanggaran (lihat butir 5 di atas, dan seberapa jauh informasi pendukung yang diperlukan atau seberapa “berat” pelanggaran yang disaksikan serta dampak negatifnya pada perusahaan atau masyarakat);
8. Dokumen penegasan bahwa penyampaian laporan yang bersifat fitnah atau palsu tidak akan diproses dan bahkan akan diberi sanksi bila terbukti demikian;
9. Pernyataan perusahaan bahwa pelapor dan laporannya akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya;
10. Pernyataan komitmen perusahaan untuk melindungi pelapor (Whistleblower Protection Policy) dari segala bentuk tindakan-tindakan pembalasan yang mungkin terjadi dari terlapor, atasan-atasannya atau pihak lain yang terkena dampak pelaporannya. Perlindungan ini diberikan kepada diri pelapor, keluarganya atau rekan-rekannya dan meliputi keamanan kerja, kelanjutan karirnya di perusahaan, keselamatan fisik, nyawa dan harta serta perlindungan hukum;
11. Pernyataan bahwa pelapor akan menerima kabar mengenai proses penanganan laporan pelanggaran yang disampaikan;
12. Dokumen yang berisikan penjelasan mengenai hak-hak pelapor terkait dengan proses yang terjadi akibat pelaporan pelanggaran yang disampaikannya, misalnya permohonan untuk direlokasi dalam upaya menjaga anonimitas dari pelapor, atau cuti selama proses investigasi dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk banding ke lembaga yang lebih tinggi (Komite Pemantau SPP/WBS) bahkan bila perlu ke lembaga penegak hukum;
13. Uraian umum mengenai proses investigasi yang akan dilakukan perusahaan setelah menerima laporan pelanggaran yang valid, termasuk komitmen terhadap penerapan prinsip-prinsip kewajaran dan keadilan dalam proses investigasi tersebut. Selain itu juga komitmen untuk melakukan perbaikan terhadap pencegahan pelanggaran yang terjadi;
14. Penjelasan apakah pelaporan pelanggaran dapat dilakukan secara anonim atau tidak;
15. Komitmen bahwa melakukan penunjukan petugas Perlindungan Pelapor yang kompeten dan jujur, serta terbuka bagi semua karyawan;
16. Pernyataan komitmen perusahaan untuk senantiasa melakukan evaluasi dan perbaikan untuk meningkatkan efektifitas program SPP/WBS.
Lampiran 2: Checklist Penerapan Program SPP/WBS
No Keterangan Ya/Tidak Tindak Lanjut
I TAHAP PERSIAPAN AWAL
1. Kesepakatan Direksi dan Komisaris untuk membentuk unit SPP/WBS dan penunjukan tim untuk mempersiapkannya
2. Penyusunan organisasi fungsi atau unit pelaksana SPP/WBS lengkap dengan uraian tugas dari masing-masing jabatan
3. Seleksi kandidat petugas SPP/WBS.
4. Penunjukkan Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi, serta staf adminstatif unit SPP/WBS
5. Pelatihan petugas SPP/WBS dan studi banding ke perusahaan yang telah menerapkan
II TAHAP PERSIAPAN LANJUTAN
6. Pengadaan sarana fisik kantor dan media penyampaian laporan pelanggaran (Hotline, email, kotak pos khusus)
7. Pengumpulan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi dasar hukum atas penerapan SPP/WBS
8. Penyusunan prosedur penyampaian laporan pelanggaran, termasuk untuk laporan yang anonim
9. Penyusunan panduan mengenai perilaku yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran lengkap dengan penjelasan mengenai tingkat pelanggaran yang akan diproses melalui jalur SPP/WBS
10. Penyusunan ketentuan mengenai sanksi terhadap penyampaian laproan pelanggaran palsu dan fitnah
11. Penyusunan kebijakan jaminan kerahasiaan dan keamanan bagi pelapor
12. Penyusunan Kebijakan Perlindungan Pelapor secara rinci untuk disahkan Direksi dan Dewan Komisaris
13. Penyusunan ketentuan mengenai hak-hak pelapor atas perlakuan yang tidak layak dan hak untuk banding, termasuk menyampaikan laporan pelanggaran kepada penegak hukum
14. Penyusunan pernyataan komitmen terhadap penerapan SPP/WBS untuk ditandatangani Direksi, Dewan Komisaris dan seluruh karyawan
15. Penyusunan materi untuk Executive Briefing tentang SPP/WBS bagi Direksi dan Dewan Komisaris
16. Penyusunan materi workshop untuk Manager mengenai SPP WBS/, khususnya peran Manajemen dalam SPP WBS/ dan juga pelatihan Training for Trainer bagi para manager yang akan memberikan pelatihan SPP/WBS.
17. Penyusunan materi untuk sosialisasi SPP/WBS bagi seluruh karyawan.
18. Executive Briefing untuk Direksi dan Komisaris tentang pelaksanaan SPP/WBS
III PELUNCURAN PROGRAM SPP/WBS
19. Persiapan materi promosi dan penggandaan buku Petunjuk informasi tentang SPP/WBS untuk dibagikan kepada karyawan dan tamu.
20. Penyusunan acara peresmian peluncuran program SPP/WBS yang antara lain berisikan:
• Penandatanganan komitmen Direksi dan Dewan Komisaris serta Pejabat Senior Perusahaan;
• Sambutan Direksi/Dewan Komisaris;
• Sambutan dari luar perusahaan
• Perkenalan petugas pelaksana SPP/WBS dan nomor untuk dihubungi
21. Penentuan waktu pelaksanaan upacara seremoni peluncuran penerapan SPP/WBS dan persiapan fisik dan acara lainnya
22. Pelaksanaan Peluncuran Penerapan SPP/WBS
23. Kegiatan promosi berlanjut dan Soft Launching SPP/WBS
IV PELATIHAN DAN SOSIALISASI
24. Penyusunan jadwal pelatihan dan sosialisasi secara keseluruhan (company wide)
25. Persiapan logistik dan akomodasi untuk pelatihan dan sosialisasi
26. Sosialisasi/workshop untuk Senior Manager
27. Sosialisasi dan workshop untuk Manager
28. Pelatihan Training for Trainers bagi para Manager
29. Pelatihan dan sosialisasi untuk karyawan
V PENERAPAN SPP/WBS
30. Final check up seluruh infra struktur SPP/WBS, termasuk Helpline yang ada
31. Pelaksanaan SPP/WBS secara penuh dan siap menerima pelaporan dan proses berikutnya
32. Perencanaan kegiatan komunikasi berkala
33. Pelaksanaan komunikasi berkala
VI MONITORING & REVIEW
34. Penyusunan jadwal monitoring dan review
35. Pelaksanaan review/assessment program SPP/WBS
36. Implementasi rekomendasi perbaikan hasil asessment
Lampiran 3: Panduan Pembuatan Kebijakan SPP (WBS Policy)
Setiap organisasi dapat menyusun Kebijakan SPP ( WBS Policy) sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Panduan yang diberikan ini hanya dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan kebijakan SPP/WBS dan bukan dimaksudkan untuk menjadi acuan yang bersifat wajib dilaksanakan secara harfiah.
1. Pendahuluan
Bagian ini berisikan penjelasan mengapa perusahaan menerapkan SPP/WBS dan sekaligus menjelaskan pemahaman serta sikap perusahaan mengenai SPP/WBS. Beberapa alasan penerapan SPP/WBS antara lain adalah peningkatan kepatuhan terhadap pedoman etika perusahaan (ethical conformance); bagian dari pengendalian internal perusahaan khususnya mengurangi resiko terhadap pelanggaran; tuntutan peraturan perundang-undangan (legal compliance). Dalam bagian ini juga dapat dijelaskan bahwa pengembangan kebijakan ini mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (lihat I.4);
2. Lingkup dan Tujuan Kebijakan
Menjelaskan lingkup berlakunya kebijakan ini, apakah internal saja ataukah eksternal juga. Internal berarti seluruh karyawan termasuk Direksi dan Dewan Komisaris, eksternal berarti termasuk stakeholders lainnya (pemasok, pelanggan, kreditur, masyarakat, dll.). Selain itu dalam bagian ini dijelaskan tujuan dan sasaran penerapan SPP/WBS.
3. Pelaporan Pelanggaran
a. Siapa yang dapat melaporkan pelanggaran?
Sesuai dengan lingkup kebijakan diuraikan siapa saja yang dapat melakukan pelaporan pelanggaran.
b. Pelanggaran apa saja yang dapat dilaporkan?
Pada bagian ini dirinci perbuatan pelanggaran apa saja yang dapat dilaporkan dan perbuatan apa yang tidak dapat dilaporkan melalui prosedur ini. Dalam hal yang meragukan, apakah suatu perbuatan dapat dilaporkan atau tidak, pelapor dapat berkonsultasi dengan petugas yang ditunjuk. Sebutkan nama dan nomor kontak (email, nomor telepon, dan alamat bila perlu) kepada petugas tersebut.
c. Kapan melaporkan pelanggaran tersebut?
Pelapor harus mempunyai alasan yang kuat dalam menyampaikan laporan pelanggaran ataupun potensi pelanggaran. Pelaporan seyogyanya dilakukan segera dan dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, karena semakin lama ditunda semakin menyulitkan investigasi dan tindak lanjut. Begitu juga bagi pelapor mungkin akan kehilangan alasan untuk melaporkan bila hal tersebut sudah terlanjur dikoreksi sehingga tidak diketemukan bukti lagi.
d. Bagaimana cara melaporkannya dan kepada siapa?
Perlu ditegaskan bahwa pelapor harus mempunyai iktikad baik dalam menyampaikan laporan pelanggaran ini, karena laporan yang disampaikan tidak dengan iktikad baik akan memperoleh sanksi.
Kebijakan ini harus menjelaskan tata cara pelaporan dan saluran komunikasi mana sajakah yang tersedia. Bila ia karyawan perusahaan, kepada siapa ia harus melaporkan (nama dan kontak lengkap) petugas tersebut. Bila lebih dari satu petugas, juga harus dijelaskan.
Bila ia bukan karyawan perusahaan, bagaimana ia harus menyampaikan laporannya. Disarankan perusahaan membuat bagan alir (flowchart) cara pelaporan sehingga jelas bagi seluruh karyawan dan pihak lain yang ingin melaporkan pelanggaran.
Dalam kebijakan ini juga dijelaskan informasi minimum yang harus disampaikan kepada petugas untuk memungkinkan dilakukan tindak lanjut terhadap laporan tersebut. Perlu dijelaskan pula bahwa setiap laporan akan dievaluasi terlebih dahulu apakah dapat ditindaklanjuti atau tidak. Ini tergantung dari informasi awal yang disampaikan tadi.
Dalam kebijakan ini juga harus dijelaskan penjenjangan pelaporan seusai dengan kedudukan terlapor, atau bila pelapor ragu ke tingkat mana ia harus menyampaikan laporannya (lihat bagian IV.6).
e. Komunikasi dengan pelapor
Komunikasi dengan pelapor akan dilakukan secara rahasia oleh petugas Perlindungan Pelapor. Pelapor berhak mendapatkan informasi mengenai kelanjutan proses penanganan laporan yang disampaikan. Identitas pelapor akan dijaga kerahasiaan dan keamanannya.
f. Bagaimana dengan pelapor anonim?
Pelapor anonim dapat diterima tetapi diingatkan bahwa akan terdapat kesulitan untuk melakukan komunikasi dan klarifikasi atas laporannya tersebut..
4. Perlindungan terhadap pelapor
a. Kebijakan perlindungan pelapor
Perusahaan harus membuat uraian yang cukup rinci mengenai perlindungan yang diberikan kepada pelapor, mulai dari kerahasiaan identitas, jaminan keamanan informasi, perlindungan terhadap balasan yang berupa ancaman keselamatan fisik, teror psikologis, keselamatan harta, perlindungan hukum dan keamanan pekerjaan. Perlindungan ini juga dapat diberlakukan kepada pelapor dan keluarganya (lihat III.2)
b. Insentif bagi pelapor
Apabila perusahaan berpendapat bahwa perlu diberikan penghargaan bagi pelapor yang beriktikad baik, maka kebijakan ini harus memberikan uraian atas penghargaan yang akan diberikan kepada pelapor atas jasanya tadi. Tetapi perlu dipertimbangkan apabila penghargaan ini diberikan secara terbuka, berarti jaminan rahasia identitas pelapor menjadi tidak berlaku lagi.
c. Sanksi bagi pelapor yang menyalahgunakan sistem pelaporan pelanggaran (SPP/WBS)
Kebijakan ini harus menegaskan bahwa pelapor yang melakukan fitnah atau melakukan pelaporan palsu akan kehilangan hak mendapatkan perlindungan dan bahkan diancam dengan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5. Monitoring dan review
Kebijakan ini juga harus menguraikan bagaimana monitoring dan review akan dilaksanakan. Hal ini menunjukkan komitmen Direksi untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan SPP/WBS.
Lampiran 4 : Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan
Kata Pengantar
Dalam rangka meningkatkan kualitas penerapan corporate governance di Indonesia,Komite Nasional Kebijakan Governance merekomendasikan penyempurnaan sistem maupun manusianya yang berperan sebagai agen-agen perubah. Hal itu diwujudkan dengan mengembangkan “charter member” Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia melalui pintu masuk program Directorship bagi direktur/komisaris, maupun calon direktur/komisaris, penerbitan pedoman Good Corporate Governance, pedoman Good Public Governance, pedoman sektoral perbankan, asuransi dan sebagainya serta pedoman yang bersifat teknis seperti Pedoman Komisaris Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit Yang Efektif, serta beberapa pedoman teknis lainnya yang akan diluncurkan dalam waktu dekat ini.
Komite Nasional Kebijakan Governance berinisiatif untuk menyusun Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (Pedoman SPP) atau lebih dikenal dengan istilah Pedoman Whistleblowing System yang dapat digunakan oleh perusahaan manapun dalam mengembangkan manual sistem pelaporan pelanggaran di masing-masing perusahaan.
Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS). Panduan ini sifatnya generik, sehingga perusahaan bisa mengembangkan sendiri sesuai kebutuhan dan keunikan perusahaan masing-masing. Diharapkan pedoman ini akan memberikan manfaat bagi peningkatan pelaksanaan Corporate Governance di Indonesia. Melalui sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran.
WBS yang efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan karyawan perusahaan untuk lebih berani bertindak untuk mencegah terjadinya kecurangan dan korupsi dengan melaporkannya ke pihak yang dapat menanganinya. Ini berarti WBS mampu untuk mengurangi budaya “diam” menuju ke arah budaya “kejujuran dan keterbukaan”.
WBS yang efektif memerlukan struktur dan proses yang benar, karena para pelapor memerlukan rasa aman dan jaminan keselamatan untuk mau berpartisipasi dalam mencegah kecurangan dan korupsi. Rasa aman dan jaminan keselamatan baik nyawa dan harta benda baginya serta keluarganya merupakan salah satu aspek penting penerapan WBS. Negara sendiri telah mempersiapkan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan termasuk LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk melakukan perlindungan tersebut.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah menyumbangkan waktu dan pemikiran yang tidak ternilai harganya. Kami senantiasa memerlukan dukungan berbagai pihak dalam melaksanakan segala kegiatan guna meningkatkan mutu penerapan Corporate Governance di Indonesia.
Komite Nasional Kebijakan Governance
LATAR BELAKANG
Meningkatnya kejahatan kerah putih di berbagai belahan dunia telah mendorong berbagai negara dan asosiasi usaha untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan semakin meningkatkan tuntutan penerapan good governance baik di sektor swasta maupun publik. Berbagai negara telah membuat panduan corporate governance berdasarkan prinsip dan praktik terbaik yang dianjurkan di dunia, seperti yang dianjurkan dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Principles of Corporate Governance, dan Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) Internal Control Integrated Framework. Bahkan terdapat beberapa negara yang menerbitkan Undang Undang untuk mencegah tindak pidana korupsi dan memastikan agar praktik good governance dijalankan, seperti di Amerika, dengan menerbitkan Foreign Corrupt Practices Act di tahun 1977 dan Sarbanes-Oxley Act di tahun 2002. Dalam upaya mencegah korupsi, Persatuan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan United Nations Convention Against Corruption - 2003 (UNCAC), dimana Indonesia telah meratifikasi hasil konvensi tersebut melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006. Selain peraturan perundangan, juga dilakukan pengawasan publik, antara lain melalui Transparency International yang mempublikasikan Corruption Perception Index setiap tahun, dan telah menjadi acuan kemajuan pemberantasan korupsi di berbagai negara.
Terkait dengan usaha penerapan good corporate governance dan termasuk di dalamnya pemberantasan korupsi, suap, dan praktik kecurangan lainnya, penelitian dari berbagai institusi, seperti Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) dan Global Economic Crime Survey (GECS) menyimpulkan bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktik yang bertentangan dengan good corporate governance adalah melalui mekanisme pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).
Efektivitasnya terlihat dari jumlah kecurangan yang berhasil dideteksi dan juga waktu penindakannya yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan cara lainnya. Selain itu, pimpinan organisasi memiliki kesempatan untuk mengatasi permasalahan secara internal dulu, sebelum permasalahan tersebut merebak ke ruang publik yang dapat mempengaruhi reputasi organisasi.
Mempertimbangkan paparan diatas, maka penyelenggaraan whistleblowing system yang efektif perlu digalakkan di setiap organisasi, baik di sektor swasta maupun sektor publik. Whistleblowign System adalah bagian dari sistem pengendalian internal dalam mencegah praktik penyimpangan dan kecurangan serta memperkuat penerapan praktik good governance.
2. MANFAAT WHISTLEBLOWING SYSTEM
Survey yang dilakukan oleh Institute of Business Ethics (2007) menyimpulkan bahwa satu di antara empat karyawan mengetahui kejadian pelanggaran, tetapi lebih dari separuh (52%) dari yang mengetahui terjadinya pelanggaran tersebut tetap diam dan tidak berbuat sesuatu. Keengganan untuk melaporkan pelanggaran yang diketahui dapat diatasi melalui penerapan Whistleblowing System yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sistem ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat partisipasi karyawan dalam melaporkan pelanggaran.
Beberapa manfaat dari penyelenggaraan Whistleblowing System yang baik antara lain adalah:
a. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman;
b. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif;
c. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu pelanggaran;
d. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik;
e. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi;
f. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran;
g. Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan (stakeholders), regulator, dan masyarakat umum; dan
h. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang tindakan perbaikan yang diperlukan.
Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, WBS merupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka WBS dapat menjadi ancaman.
3. IKHTISAR WHISTLEBLOWING SYSTEM
a. Apakah “pelanggaran”(wrongdoing) itu?
Yang dimaksud dengan ”pelanggaran” dalam pedoman ini adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan; peraturan/standar industri terkait dan peraturan internal organisasi, serta dapat dilaporkan. Termasuk dalam aktivitas pelanggaran antara lain adalah:
1) Melanggar peraturan perundang-undangan, misalnya pemalsuan tanda tangan, korupsi, penggelapan, mark-up, penggunaan narkoba, perusakan barang.
2) Melanggar pedoman etika perusahaan, misalnya benturan kepentingan, pelecehan, terlibat dalam kegiatan masyarakat yang dilarang.
3) Melanggar prinsip akuntansi yang berlaku umum
4) Melanggar kebijakan dan prosedur operasional perusahaan, ataupun kebijakan, prosedur, peraturan lain yang dianggap perlu oleh perusahaan.
5) Tindakan kecurangan lainnya yang dapat menimbulkan kerugian finansial ataupun non-finansial
6) Tindakan yang membahayakan keselamatan kerja
b. Apakah “pelaporan pelanggaran” (whistleblowing) itu?
Pelaporan pelanggaran (whistleblowing) adalah pengungkapan tindakan pelanggaran atau pengungkapan perbuatan yang melawan hukum, perbuatan tidak etis/tidak bermoral atau perbuatan lain yang dapat merugikan organisasi maupun pemangku kepentingan, yang dilakukan oleh karyawan atau pimpinan organisasi kepada pimpinan organisasi atau lembaga lain yang dapat mengambil tindakan atas pelanggaran tersebut. Pengungkapan ini umumnya dilakukan secara rahasia (confidential).
Pengungkapan harus dilakukan dengan iktikad baik dan bukan merupakan suatu keluhan pribadi atas suatu kebijakan perusahaan tertentu (grievance) ataupun didasari kehendak buruk/fitnah.
c. Siapakah yang disebut “pelapor pelanggaran” (whistleblower)?
Pada dasarnya pelapor pelanggaran (whistleblower) adalah karyawan dari organisasi itu sendiri (pihak internal), akan tetapi tidak tertutup adanya pelapor berasal dari pihak eksternal (pelanggan, pemasok, masyarakat). Pelapor seyogyanya memberikan bukti, informasi, atau indikasi yang jelas atas terjadinya pelanggaran yang dilaporkan, sehingga dapat ditelusuri atau ditindaklanjuti. Tanpa informasi yang memadai laporan akan sulit untuk ditindaklanjuti.
d. Perlindungan kepada Pelapor (Whistleblower Protection)
Sistem Pelaporan Pelanggaran yang baik memberikan fasilitas dan perlindungan (whistleblower protection) sebagai berikut:
1) Fasilitas saluran pelaporan (telepon, surat, email) atau Ombudsman yang independen, bebas dan rahasia;
2) Perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Perlindungan ini diberikan bila pelapor memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi pelapor. Walaupun diperbolehkan, namun penyampaian pelaporan secara anonim, yaitu tanpa identitas, tidak direkomendasikan. Pelaporan secara anonim menyulitkan dilakukannya komunikasi untuk tindak lanjut atas pelaporan;
3) Perlindungan atas tindakan balasan dari terlapor atau organisasi. Perlindungan dari tekanan, dari penundaan kenaikan pangkat, pemecatan, gugatan hukum, harta benda, hingga tindakan fisik. Perlindungan ini tidak hanya untuk pelapor tetapi juga dapat diperluas hingga ke anggota keluarga pelapor;
4) Informasi pelaksanaan tindak lanjut, berupa kapan dan bagaimana serta kepada institusi mana tindak lanjut diserahkan. Informasi ini disampaikan secara rahasia kepada pelapor yang lengkap identitasnya.
Perlindungan di atas tidak diberikan kepada pelapor yang terbukti melakukan pelaporan palsu dan/atau fitnah. Pelapor yang melakukan laporan palsu dan/atau fitnah dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, misalnya KUHP pasal 310 dan 311 atau peraturan internal organisasi (Pedoman Etika Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama).
e. Perbedaan antara Saksi dengan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang melihat dan mendengar atau mengalami sendiri tindak pelanggaran yang dilakukan terlapor dan bersedia memberikan keterangannya di depan sidang pengadilan. Seorang pelapor mungkin saja menjadi saksi, tetapi tidak semua pelapor dapat menjadi saksi.
Pelapor adalah orang yang melaporkan adanya tindak pelanggaran, tetapi mungkin ia tidak melihat dan mendengar sendiri pelaksanaan tindak pelanggaran tersebut, tetapi mempunyai bukti-bukti surat atau alat bukti petunjuk (rekaman, gambar, dlsb.) bahwa telah terjadi tindak pelanggaran.
4. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN TERKAIT
a. Peraturan perundangan terkait di Indonesia
Walaupun belum terdapat peraturan perundangan yang secara komprehensif mengatur mengenai SPP/WBS, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundangan yang secara parsial menangani pelaporan pelanggaran dan perlindungan pelapor, antara lain:
1) UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelaenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; pasal 9
2) UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 31 dan pasal 41 ayat (2) butir e.
3) Uu No.15 tahun 2002 jo UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pasl 39 s/d 43;
4) UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 153 ayat (1) huruf I dan pasal 158 ayat (1) huruf i
5) UU No.7 tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Section 33 UNCAC;
6) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 10 ayat 1;
7) PP No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 6;
8) PP No.57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
9) Peraturan Kapolri Nomor 17 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Peraturan Internal Perusahaan
Dengan tidak adanya peraturan perundangan yang mengatur Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS), maka untuk sektor swasta, peraturan pelaksanaan WBS ini haruslah bertumpu pada peraturan internal yang ada,. Peraturan internal perusahaan yang ada antara lain adalah:
1) Pedoman Umum Good Corporate Governance (GCG Code);
2) Pedoman Direksi dan Dewan Komisaris (Board Manual);
3) Pedoman Etika Usaha dan Etika Kerja (Corporate Code of Conduct);
4) Kebijakan Penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System Policy)
Peraturan internal perusahaan ini, terutama Kebijakan Penerapan WBS harus diperhatikan dengan baik, agar tidak terjadi benturan dengan UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan KUHP pasal 310 dan 311 yang terkait dengan perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik
RUANG LINGKUP APLIKASI DAN TUJUAN
1. RUANG LINGKUP DAN APLIKASI
Pedoman ini akan menguraikan mengenai elemen-elemen dan aspek-aspek yang diperlukan untuk membangun, mengimplementasikan dan mengelola sistem pelaporan pelanggaran (WBS), dalam suatu organisasi, khususnya terkait dengan perlindungan pelapor. Secara umum pedoman ini dapat digunakan oleh perusahaan, organisasi nirlaba dan lembaga publik. Khusus untuk lembaga pemerintah, perlu dikaji ulang keterkaitannya dengan berbagai peraturan perundangan yang mengatur lembaga pemerintahan tersebut.
Aspek-aspek sistem pelaporan pelanggaran (WBS) ini terdiri dari aspek struktural, aspek operasional dan aspek perawatan (maintenance). Aspek struktural merupakan aspek yang berisikan elemen-elemen infra struktur sistem pelaporan pelanggaran. Aspek Operasional merupakan aspek yang berkaitan dengan mekanisme dan prosedur kerja sistem pelaporan pelanggaran. Aspek perawatan (maintenance) merupakan aspek yang memastikan bahwa sistem pelaporan pelanggaran ini dapat berkelanjutan dan meningkat efektifitasnya
2. TUJUAN
Tujuan dari Pedoman ini adalah menyediakan suatu panduan bagi organisasi yang ingin membangun, menerapkan dan mengelola suatu Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS).
Sasaran Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) sendiri adalah:
a. Menciptakan iklim yang kondusif dan mendorong pelaporan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian finansial maupun non-finansial, termasuk hal-hal yang dapat merusak citra organisasi;
b. Mempermudah manajemen untuk menangani secara efektif laporan-laporan pelanggaran dan sekaligus melindungi kerahasiaan identitas pelapor serta tetap menjaga informasi ini dalam arsip khusus yang dijamin keamanannya;
c. Membangun suatu kebijakan dan infra struktur untuk melindungi pelapor dari balasan pihak-pihak internal maupun eksternal;
d. Mengurangi kerugian yang terjadi karena pelanggaran melalui deteksi dini;
e. Meningkatkan reputasi perusahaan.
3. DEFINISI
Dalam Pedoman ini yang dimaksud dengan:
a. Perusahaan adalah organisasi bisnis atau organisasi nirlaba ataupun organisasi/lembaga pemerintah yang akan menggunakan panduan yang diuraikan dalam Pedoman ini;
b. Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan secara curang atau melawan hukum, oleh anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, Pengurus Perusahaan, Manajer ataupun karyawan perusahaan, yang bertentangan dengan kepentingan perusahaan, atau penyalahgunaan wewenang jabatan/kepercayaan yang diberikan kepadanya dengan tujuan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau korporasi;
c. Kecurangan (Fraud) adalah perbuatan tidak jujur yang menimbulkan potensi kerugian ataupun kerugian nyata terhadap perusahaan atau karyawan perusahaan atau orang lain, tetapi tidak terbatas pada pencurian uang, pencurian barang, penipuan, pemalsuan. Juga termasuk dalam perbuatan ini adalah pemalsuan, penyembunyian atau penghancuran dokumen/laporan, atau menggunakan dokumen palsu untuk keperluan bisnis, atau membocorkan informasi perusahaan kepada pihak di luar perusahaan;
d. Perbuatan yang dapat dilaporkan (pelanggaran) adalah perbuatan yang dalam pandangan pelapor dengan iktikad baik adalah perbuatan sebagai berikut:
1) Korupsi;
2) Kecurangan;
3) Ketidakjujuran;
4) Perbuatan melanggar hukum (termasuk pencurian, penggunaan kekerasan terhadap karyawan atau pimpinan, pemerasan, penggunaan narkoba, pelecehan, perbuatan kriminal lainnya)
5) Pelanggaran ketentuan perpajakan, atau peraturan perundang-undangan lainnya (lingkungan hidup, mark-up, under invoice, ketenagakerjaan, dll.);
6) Pelanggaran Pedoman Etika Perusahaan atau pelanggaran norma-norma kesopanan pada umumnya;
7) Perbuatan yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja, atau membahayakan keamanan perusahaan;
8) Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian finansial atau non-finansial terhadap perusahaan atau merugikan kepentingan perusahaan;
9) Pelanggaran prosedur operasi standar (SOP) perusahaan, terutama terkait dengan pengadaan barang dan jasa, pemberian manfaat dan remunerasi.
Perusahaan dapat menambah atau mengurangi daftar perbuatan yang dapat dilaporkan ini untuk mempermudah karyawan perusahaan mendeteksi perbuatan yang dapat dilaporkan.
e. Investigasi adalah kegiatan untuk menemukan bukti-bukti terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan atau perusahaan, yang telah dilaporkan melalui sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing system);
f. Karyawan adalah orang yang bekerja pada perusahaan tersebut atau mendapatkan gaji/honor dari perusahaan. Termasuk dalam pengertian ini adalah anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Komite-Komite Dewan Komisaris.
g. Imunitas administratif adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada perusahaan kepada pelapor (whistleblower) sebagai akibat keterlibatannya dalam tindakan pelanggaran yang dilaporkannya. Contohnya terjadi kecurangan yang dilakukan oleh sekelompok karyawan dan ia mendapatkan bagian dari hasil kecurangan tersebut, tetapi ia melaporkan adanya kecurangan tersebut, dan mengembalikan porsi yang diterimanya.
h. Petugas yang ditunjuk adalah karyawan yang ditunjuk untuk menjabat salah satu posisi dalam organisasi pelaksana sistem pelaporan pelanggaran; seperti petugas penerima laporan pelanggaran, petugas investigasi pelaporan.
ASPEK STRUKTURAL
PERNYATAAN KOMITMEN
Diperlukan adanya pernyataan komitmen dari seluruh karyawan akan kesediaannya untuk melaksanakan Sistem Pelaporan Pelanggaran dan berpartisipasi aktif untuk ikut melaporkan bila menemukan adanya pelanggaran. Secara teknis, pernyataan ini dapat dibuat tersendiri, atau dijadikan dari bagian Perjanjian Kerja Bersama, atau bagian dari pernyataan ketaatan terhadap Pedoman Etika Perusahaan.
Pernyataan komitmen ini akan disimpan di bagian Personalia dan salinannya pada bagian pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran. Informasi ini dapat diakses oleh semua pihak yang memerlukannya. Kejelasan komitmen Direksi dan Dewan Komisaris akan sangat mendukung pelaksanaan Sistem Pelaporan Pelanggaran ini.
(Pernyataan komitmen ini penting dan akan merupakan salah satu sumber hukum kepatuhan internal bila terdapat sengketa dalam penerapan sistem ini. Hal ini karena di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang dapat melindungi pelapor pada sektor swasta.)
2. KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PELAPOR
Perusahaan harus membuat kebijakan perlindungan pelapor (whistleblower protection policy). Kebijakan ini menyatakan secara tegas dan jelas bahwa perusahaan berkomitmen untuk melindungi pelapor pelanggaran yang beriktikad baik dan perusahaan akan patuh terhadap segala peraturan perundangan yang terkait serta best practices yang berlaku dalam penyelenggaraan Sistem Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing System). Kebijakan ini juga menjelaskan maksud dari adanya perlindungan pelapor adalah untuk mendorong terjadinya pelaporan pelanggaran dan menjamin keamanan si pelapor maupun keluarganya.
Dalam kebijakan ini perlu ditekankan apa manfaat dan pentingnya Sistem Pelaporan Pelanggaran bagi perusahaan. Selain itu juga perlu ditekankan adanya sanksi bagi pelaporan pelanggaran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan kebijakan ini; misalnya fitnah atau pelaporan palsu.
Dalam kebijakan ini harus dijelaskan secara tegas saluran pelaporan mana yang tersedia untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi. Selain itu juga ada pernyataan bahwa semua laporan pelanggaran akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya oleh perusahaan. Bila pelapor menyertakan identitasnya secara jelas ia juga dijamin haknya untuk memperoleh informasi mengenai tindak lanjut atas laporannya. Hal ini juga merupakan bukti komitmen perusahaan dalam melindungi pelapor.
Kebijakan ini juga menjelaskan bagaimana seorang pelapor dapat mengadukan bila mendapatkan balasan berupa tekanan atau ancaman atau tindakan pembalasan lain yang dialaminya. Saluran pelaporan pengaduan ini harus jelas dan kepada siapa harus mengajukan pengaduan, misalnya, Komite Integritas, Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran, Komite Audit, Komite GCG, atau yang lainnya. Dalam hal masalah ini tidak dapat dipecahkan secara internal, pelapor dijamin haknya untuk membawa ke lembaga independen di luar perusahaan, seperti misalnya mediator atau arbitrase atas biaya perusahaan.
Kebijakan ini perlu menyatakan secara jelas bahwa seorang pelapor pelanggaran akan mendapatkan perlindungan dari perusahaan terhadap perlakuan yang merugikan seperti:
a. Pemecatan yang tidak adil;
b. Penurunan jabatan atau pangkat;
c. Pelecehan atau diskriminasi dalam segala bentuknya;
d. Catatan yang merugikan dalam file data pribadinya (personal file record).
Selain perlindungan di atas, untuk pelapor yang beriktikad baik, perusahaan juga akan menyediakan perlindungan hukum, sejalan dengan yang diatur pada pasal 43 UU No.15 tahun 2002 jo UU No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 13 UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan pasal 5 PP No.57 tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu:
a. Perlindungan dari tuntutan pidana dan/atau perdata;
b. Perlindungan atas keamanan pribadi, dan/atau keluarga Pelapor dari ancaman fisik dan/atau mental;
c. Perlindungan terhadap harta Pelapor;
d. Perahasiaan dan penyamaran identitas Pelapor; dan/atau
e. Pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan terlapor, pada setiap tingkat pemeriksaan perkara dalam hal pelanggaran tersebut masuk pada sengketa pengadilan.
Dalam hal pelapor merasa perlu, ia juga dapat meminta bantuan pada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sesuai UU No.13 tahun 2006. Lampiran 1 Pedoman ini memuat panduan berupa checklist hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan perlindungan pelapor.
3. STRUKTUR PENGELOLAAN SISTEM PELAPORAN PELANGGARAN
Bagi perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas, maka digunakan acuan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 1 butir 5 menyatakan bahwa Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan Dewan Komisaris sesuai Pasal 1 butir 6 UUPT adalah Organ Perseroan yang tugasnya adalah melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Mengingat bahwa WBS adalah bagian dari pengendalian perusahaan dalam mencegah kecurangan. Maka hal ini menjadi masalah kepengurusan perusahaan, dengan demikian kepemimpinan dalam penyelenggaraan Sistem Pelaporan Pelanggaran disarankan berada pada Direksi, khususnya Direktur Utama. Dewan Komisaris akan melakukan pengawasan atas kecukupan dan efektifitas pelaksanaan sistem tersebut.
Bagi perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa saham Australia, London dan New York, mereka juga harus mengikuti ketentuan yang berlaku disana. Ketentuan tersebut adalah ASX Corporate Governance Principles and Recommendations (khususnya ASX Audit and Risk Committee Charter - 2008) untuk Australia; Combined Code on Corporate Governance untuk London dan Sarbanes-Oxley Act untuk New York. Peraturan ini mewajibkan adanya Whistleblowing System dan berada di bawah tanggung jawab Komite Audit. Bagi perusahaan-perusahaan tersebut di atas, maka kepengurusan WBS dapat diletakkan di bawah kepengurusan Komite Audit.
Untuk organisasi nirlaba, bila akan menyusun struktur pengelolaan WBS, perlu mengacu pada peraturan perundangan terkait (misalnya UU tentang Yayasan) dan anggaran dasar organisasi nirlaba tersebut. Begitu juga halnya dengan lembaga pemerintahan.
a. Unit Pengelola WBS
Unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran, harus merupakan fungsi atau unit yang independen dari operasi perusahaan sehari-hari dan mempunyai akses kepada pimpinan tertinggi perusahaan. Unsur dari unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS) terdiri dari dua elemen utama yaitu:
1) Sub-unit Perlindungan Pelapor: yaitu sub-unit yang menerima pelaporan pelanggaran, menyeleksi laporan pelanggaran untuk diproses lebih lanjut oleh sub-unit investigasi tanpa membuka identitas pelapor. Sub-unit ini juga bertanggung jawab atas pelaksanaan program perlindungan pelapor sesuai dengan kebijakan yang telah dicanangkan, terutama aspek kerahasiaan dan jaminan keamanan pelapor. Untuk keperluan ini petugas pada sub-unit ini haruslah mendapatkan akses terhadap bantuan hukum, keuangan dan operasional bila diperlukan.
2) Sub-unit Investigasi: yaitu sub-unit yang bertugas untuk melakukan investigasi lebih lanjut terhadap substansi pelanggaran yang dilaporkan. Tujuannya adalah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan guna memastikan bahwa memang telah terjadi pelanggaran. Dalam hal terdapat bukti-bukti yang memadai, maka rekomendasi sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan diberikan kepada Direksi untuk memutuskan. Akan tetapi bila tidak ditemukan bukti-bukti yang mencukupi, maka proses investigasi dihentikan dan laporan pelanggaran tidak dilanjutkan. Untuk keperluan tugasnya pejabat dalam unit ini haruslah mendapatkan bantuan akses operasional dan informasi terhadap seluruh unit yang diinvestigasi.
Selain kedua sub-unit tersebut, juga diperlukan suatu komite khusus untuk menangani keluhan ataupun pengaduan dari pelapor yang mendapatkan tekanan atau perlakuan atau ancaman dari terlapor. Komite ini sebaiknya dikelola oleh Dewan Komisaris, dipimpin oleh Komisaris Utama. Komite ini dapat disebut sebagai Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran. Gambar 1 merupakan salah satu contoh struktur organisasi unit pengelola harian Sistem Pelaporan Pelanggaran.
Apabila tidak dibentuk suatu unit tersendiri, maka pengelolaan Sistem Pelaporan Pelanggaran dapat diserahkan kepada Satuan Pengawasan Intern (SPI)/Internal Audit dengan dibantu oleh bagian Hukum dan Sumber Daya Manusia. Begitu pula pemantauan pelaksanaan SPP/WBS dapat diserahkan kepada Komite Audit atau Komite lainnya.
b. Penunjukan Petugas Pelaksana SPP/WBS
Proses seleksi petugas unit pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran seyogyanya dilaksanakan oleh pihak yang profesional dan independen, sehingga hasil yang diperoleh relatif lebih obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan bahwa bebas dari unsur-unsur kepentingan pribadi. Kandidat yang lolos dari seleksi ini kemudian diajukan ke Direksi dan Dewan Komisaris untuk mendapatkan persetujuan.
Beberapa kriteria untuk Petugas Perlindungan Pelapor antara lain adalah:
a. Dapat dipercaya;
b. Mampu berkomunikasi dan berhubungan dengan baik serta dapat meyakinkan orang;
c. Dapat “berdiplomasi” dengan baik dan cukup taktis, tanpa membuat marah lawan bicaranya; dan
d. Mampu bersifat obyektif dan tegas.
Beberapa kriteria untuk Petugas Investigasi antara lain adalah:
a. Mempunyai integritas yang tinggi;
b. Mempunyai kemampuan untuk melakukan investigasi;
c. Kemampuan analisa yang tinggi;
d. Kemampuan melakukan penilaian dengan baik (sound judgement);
e. Obyektif;
f. Memiliki kemampuan komunikasi yang baik; dan
g. Memiliki kemampuan berdiplomasi yang baik.
4. SUMBER DAYA
Sumber daya yang memadai harus tersedia untuk dapat melaksanakan program Sistem Pelaporan Pelanggaran. Sumber daya yang diperlukan antara lain adalah:
a. Kecukupan kualitas dan jumlah personil untuk melaksanakan tugas sebagai Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi;
b. Media komunikasi (telepon, email, kotak pos) untuk keperluan pelaporan pelanggaran, baik saluran internal maupun eksternal, sesuai dengan kebutuhan;
c. Pelatihan yang memadai bagi para petugas pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran;
d. Dukungan dan komitmen pendanaan penyelenggaraan WBS; dan
e. Mekanisme untuk melakukan banding/pengaduan atas tindakan balasan dari terlapor.
ASPEK OPERASIONAL
1. KEWAJIBAN HUKUM UNTUK MELAKUKAN PELAPORAN PELANGGARAN
Apakah ada kewajiban hukum bagi karyawan untuk melaporkan adanya pelanggaran bila ia mengetahui hal itu? Bagi masyarakat umum atau karyawan biasa, maka melaporkan suatu pelanggaran adalah hak (UU 31/1999 pasal 41 dan KUHAP pasal 1 butir 21) dan bukan kewajiban. Ini artinya ia boleh melaporkan dan juga boleh tidak melaporkan adanya pelanggaran tersebut.
Bagaimanakah dengan pejabat yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk menangani pelanggaran? Bagi pejabat yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk menangani pelanggaran, maka ia wajib menangani terjadinya pelanggaran tersebut segera setelah ia mengetahuinya atau menerima laporan atas hal tersebut.
Sesuai dengan uraian di atas, maka tidak disarankan untuk menjadikan kewajiban hukum bagi karyawan melaporkan terjadinya pelanggaran bila ia melihatnya. Yang lebih penting untuk disampaikan adalah kesadaran perlunya menyampaikan adanya pelanggaran demi kepentingan dan kemaslahatan bersama serta manfaat untuk mencegah dampak yang tidak diinginkan menyebar luas, seperti misalnya kebiasaan penerimaan atau pemberian gratifikasi.
Pertimbangan hukum lainnya yang dapat digunakan adalah kewajiban pengawasan karyawan senior (respondeat superior) seperti diatur dalam KUH Perdata 1367. Selain itu prinsip duty of care and dilligent yang menjadi kewajiban Direksi yang kemudian diteruskan kepada karyawan di bawahnya. Panduan lain adalah panduan secara etis, bila kita melihat hal-hal yang dapat membahayakan nyawa karyawan lain, maka ada kewajiban moral untuk melaporkannya kepada pejabat terkait. Hal ini khususnya di dalam industri pertambangan terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja.
Ini berarti bila tidak ada ketentuan hukum yang jelas terkait dengan delik omisi, maka tidak disarankan untuk mewajibkan secara hukum bagi karyawan melaporkan adanya pelanggaran. Kewajiban tersebut hanyalah kewajiban moral dan tidak ada sanksi hukum; yang ada adalah sanksi moral saja bila membiarkan terjadinya pelanggaran, tanpa berbuat sesuatu.
2. PERANAN MANAJER DALAM PENERAPAN WBS
Manager maupun posisi lain yang memiliki fungsi pengawas (supervisory/oversight) mempunyai kewajiban pengawasan terhadap karyawan-karyawan di bawahnya. Ini berarti ia juga mempunyai kewajiban penegakan kepatuhan (compliance) dan etika perusahaan dalam lingkup tugasnya (prinsip respondeat superior). Oleh karena itu, Direksi perlu untuk memberikan perhatian dan peran bagi para Manager Senior, Manajer Madya dan Manajer Lini Pertama untuk ikut terlibat dalam penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran. Keterlibatan mereka akan mendorong iklim keterbukaan untuk saling mengingatkan bila terjadi hal-hal yang melanggar ketentuan yang berlaku, tanpa adanya rasa sakit hati.
Modus yang dapat digunakan adalah mendorong agar setiap karyawan berkonsultasi dengan atasannya bila ia melihat atau mengkhawatirkan adanya pelanggaran yang berdampak pada keselamatan operasi, kerugian finansial, atau risiko lainnya. Hal ini mungkin akan sulit dilakukan bila ternyata atasan tersebut juga terlibat dalam kecurangan yang ia akan diskusikan. Apabila demikian maka ada baiknya ia berkonsultasi dengan atasan dari atasan yang terlibat. Bila hal ini tidak berhasil, barulah digunakan saluran yang disediakan oleh Sistem Pelaporan Pelanggaran.
Mekanisme diatas dapat dipandang sebagai cara untuk menciptakan iklim kepatuhan terhadap peraturan dan pedoman etika dan sekaligus mendorong keterbukaan dalam penegakannya. Mekanisme tersebut juga akan meningkatkan tanggung jawab para manager dalam penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran, karena ia tahu bahwa ada mekanisme lain untuk melaporkan pelanggaran.
Namun, terdapat pandangan bahwa mekanisme tersebut menjadikan identitas pelapor untuk mudah diketahui oleh pihak lain dan tidak terkecuali oleh si terlapor, sehingga faktor keamanan dan kerahasiaannya sudah tidak berarti lagi. Hal yang lain adalah dengan dilakukannya konsultasi terlebih dahulu, memberikan kesempatan bagi terlapor untuk memusnahkan bukti pelanggaran atau bahkan mengkoreksi pelanggaran yang dilakukan.
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan di atas, maka menjadi kewajiban Direksi untuk mendapatkan “buy-in” dari seluruh jajaran manajemen di bawahnya mengenai manfaat dan pentingnya penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran ini (WBS). Hanya dengan dukungan seluruh jajaran manajemen, maka keberhasilan dan manfaat penerapan WBS ini dapat dinikmati perusahaan.
3. PELAPORAN ANONIM
Pelaporan pelanggaran dapat dilakukan secara anonim maupun dengan dilengkapi identitas pelapor. Untuk perusahaan yang mencatatkan sahamnya di bursa saham New York, maka pelaporan yang anonim merupakan sesuatu yang dilindungi dalam Sarbanes-Oxley Section 301.
Untuk perusahaan lain, maka dalam situasi dimana terdapat budaya perusahaan yang kondusif terhadap keterbukaan, kekhawatiran (concern) kemungkinan terjadinya pelanggaran dapat diutarakan secara terbuka. Hal ini akan memudahkan perusahaan untuk menangani kekhawatiran tersebut, karena potensi pelanggarannya juga jelas dan juga dimana kemungkinan terjadinya pelanggaran tersebut.
Penyampaian secara terbuka adalah kondisi yang ideal, akan tetapi dalam praktek sangat sulit dijumpai. Oleh karena itu penyampaian pelaporan secara rahasia masih menjadi pilihan utama. Bahkan keberanian menyertakan identitas dalam menyampaikan laporan juga masih diliputi keraguan, khususnya terhadap kemungkinan pembalasan.
Penyampaian laporan secara anonim, tetap akan diterima, tetapi harus disadari bahwa terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian. Hal tersebut adalah timbulnya kesulitan untuk komunikasi, konfirmasi atau klarifikasi dalam rangka tindak lanjut penanganan laporan pelanggaran tersebut. Oleh karena itu, untuk mengurangi anonimitas laporan, perusahaan harus memastikan bahwa kebijakan perlindungan pelapor, kerahasiaan pelapor dan jaminan keamanan betul-betul-betul dapat terlaksana dan dirasakan oleh seluruh karyawan.
4. MEKANISME PENYAMPAIAN LAPORAN PELANGGARAN
a. Infrastruktur dan Mekanisme Penyampaian Laporan
Perusahaan harus menyediakan saluran khusus yang digunakan untuk menyampaikan laporan pelanggaran, entah itu berupa email dengan alamat khusus yang tidak dapat diterobos oleh bagian IT perusahaan, atau kotak pos khusus yang hanya boleh diambil petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS), ataupun saluran telepon khusus yang akan dilayani oleh petugas khusus pula.
Informasi mengenai adanya saluran ini dan prosedur penggunaannya haruslah diinformasikan secara meluas ke seluruh karyawan. Begitu pula bagan alur penanganan pelaporan pelanggaran haruslah disosialisasikan secara meluas, dan terpampang di tempat-tempat yang mudah diketahui oleh karyawan perusahaan.
Dalam prosedur penyampaian laporan pelanggaran juga harus dicantumkan dalam hal pelapor melihat bahwa pelanggaran dilakukan oleh Petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran harus dikirimkan langsung kepada Direktur Utama perusahaan.
Sesuai dengan kebijakan perlindungan pelapor, pelapor yang mengirimkan laporan yang berupa fitnah atau laporan palsu akan memperoleh sanksi dan tidak memperoleh baik jaminan kerahasiaan maupun perlindungan pelapor. Sanksi yang dapat dijatuhkan dapat diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Pedoman Etika Perusahaan atau bila perlu dapat mengacu pada KUHP pasal 310 dan 311
b. Kerahasiaan (Confidentiality) dan Perlindungan Pelapor
Pelapor yang menginginkan dirinya tetap dirahasiakan haruslah diberi jaminan atas kerahasiaan identitas pribadinya. Sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilaporkan, perlu diingatkan bahwa bila hal ini akan sampai ke pengadilan ada kemungkinan proses hukum memerlukan kesaksian ataupun pernyataannya. Dalam keadaan semacam ini tentu identitasnya akan dibuka. Perlindungan hukum yang paling maksimal adalah perlindungan hukum seperti yang dijamin dalam kebijakan perlindungan pelapor yaitu pemberian keterangan tanpa bertatap muka dengan terlapor pada setiap tingkat pemeriksaan perkara.
Informasi dan identitas pelapor pelanggaran dibatasi hanya pada Petugas Perlindungan Pelapor dan berkasnya disimpan pada tempat yang aman. Petugas Perlindungan Pelapor akan memeriksa apakah informasi pelanggaran ini memang berada pada jalur yang benar serta memerlukan tindak lanjut investigasi. Bila tidak, maka akan disampaikan kepada pelapor untuk menyampaikan laporan atau keluhannya pada jalur yang sesuai untuk itu. Bila benar, maka informasi mengenai pelanggaran akan disampaikan hanya kepada petugas investigasi. Penyampaian informasi untuk proses investigasi dilakukan tanpa mengungkapkan sumber informasi.
Selain jaminan kerahasiaan, pelapor yang beriktikad baik juga mendapatkan perlindungan sesuai dengan kebijakan perlindungan pelapor seperti diuraikan pada bagian III.2 pedoman ini.
c. Kekebalan Administratif
Perusahaan hendaknya mengembangkan budaya yang mendorong karyawan untuk berani melaporkan tindakan pelanggaran yang diketahuinya. Hal ini dilakukan dengan memberikan kekebalan atas sanksi administratif kepada para pelapor yang beriktikad baik.
Kebijakan tersebut diatas dapat diberikan kepada pelapor yang belum pernah melakukan pelanggaran berat, atau bila dia “terpaksa” terlibat dalam pelanggaran berat, tetapi dengan iktikad baik melaporkan adanya pelanggaran tersebut. Perlu dipahami bahwa kekebalan terhadap sanksi administratif ini hanya berlaku internal perusahaan. Perusahaan tidak dalam posisi untuk memberikan kekebalan hukum, kecuali untuk hal-hal yang diatur dalam undang-undang atau diberikan oleh Jaksa, Penuntut Umum (hak opportunitas).
d. Komunikasi dengan Pelapor.
Komunikasi dengan Pelapor akan dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas Perlindungan Pelapor yang menerima laporan pelanggaran. Dalam komunikasi ini pelapor juga akan memperoleh informasi mengenai penanganan kasus yang dilaporkannya, apakah dapat ditindaklanjuti atau tidak.
Bila pelapor adalah karyawan perusahaan, maka perusahaan memberikan informasi perkembangan penanganan hasil pelaporan pelanggaran tersebut. Pemberian informasi ini dilakukan dengan mengingat azas kerahasiaan antara pelapor dengan perusahaan, termasuk di dalamnya kerahasiaan terhadap apa yang terjadi pada terlapor. Pembocoran sifat kerahasiaan ini oleh pelapor akan menghapuskan kewajiban perusahaan atas jaminan kerahasiaan yang diberikan kepadanya dan dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan hilangnya perlindungan kepada pelapor.
Dalam hal pelapor adalah orang luar dan bukan karyawan perusahaan, kebijakan komunikasi dengan pelapor ini dapat diberikan kepadanya. Hal ini berlaku bila ia bersedia menandatangani kesepakatan tertulis tentang kerahasiaan informasi baik yang ia terima dari perusahaan, maupun yang disampaikan kepada perusahaan.
5. INVESTIGASI
a. Pelaksanaan Investigasi
Komunikasi dengan Pelapor akan dilakukan melalui satu petugas, yaitu petugas Perlindungan Pelapor yang menerima laporan pelanggaran.
Semua laporan mengenai pelanggaran akan dilakukan investigasi lebih lanjut, dengan tujuan untuk sedapat mungkin mengumpulkan semua bukti yang ada, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah laporan pelanggaran tersebut benar adanya atau bahkan sebaliknya, ditemukan tidak cukup bukti untuk mendukung dilakukan tindak lanjut.
Investigasi ini akan dilakukan oleh Petugas Sub-unit Investigasi; selain itu juga sangat disarankan untuk melibatkan bagian Internal Audit/Satuan Pengawasan Intern (SPI) dalam proses investigasi ini. Independensi petugas investigasi ini penting, karena obyektifitas dan kewajaran serta keadilan dalam memberikan penilaian hasil temuan akan menentukan kredibilitas pelaksanaan Sistem Pelaporan Pelanggaran/WBS. Proses investigasi harus bebas dari bias dan dilakukan tidak tergantung dari siapa yang melaporkan ataupun siapa yang terlapor. Terlapor harus diberi kesempatan penuh untuk memberikan penjelasan atas bukti-bukti yang ditemui, termasuk pembelaan bila diperlukan.
Dalam kasus yang serius dan sensitif, perlu dipertimbangkan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen dalam melakukan investigasi laporan pelanggaran tersebut.
b. Prinsip Pelaksanaan Investigasi
Pelaksanaan investigasi, hendaknya dilaksanakan dengan mengingat prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Investigasi dilaksanakan sesuai dengan alokasi sumber daya yang disediakan, sehingga prinsip pengelolaan proyek terkait dengan sasaran, waktu dan biaya harus digunakan. Karenanya sasaran dan tahapan proses investigasi harus dinyatakan secara jelas;
2) Proses investigasi ini harus terbuka terhadap kemungkinan review secara administratif, operasional dan yudisial. Maka, rekam jejak investigasi (audit trail) harus terdokumentasi dengan baik, sehingga dapat ditinjau ulang proses investigasi terkait dengan sasaran yang ingin dicapai dan juga keputusan-keputusan penting yang diambil selama proses berlangsung;
3) Pengelolan proses investigasi harus cukup fleksibel. Komunikasi yang digunakan harus jelas dan tidak mengambang, pendekatan secara multi disiplin kalau perlu harus digunakan. Dalam hal beberapa tahapan prosedur tidak dapat dilaksanakan, mungkin perlu dicari solusi yang kompromistis dan dapat diterima oleh semua pihak, tanpa kehilangan sasaran dan tujuan. Dalam kondisi semacam ini mungkin diperlukan pendapat ahli dari eksternal.
6. PELAPORAN
Mekanisme pelaporan internal Sistem Pelaporan Pelanggaran harus dirancang sedemikan rupa sehingga dapat memastikan bahwa:
a. Semua pelanggaran yang telah dilaporkan dan diverifikasi telah tertangani dengan baik;
b. Pelanggaran yang berulang dan sistemik telah dilaporkan kepada pejabat terkait yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbaikan, misalnya pelanggaran di bidang pengadaan barang dan jasa dilaporkan kepada Direktur Umum yang membawahi bagian pengadaan.
Petugas pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran (Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi) harus mendapatkan akses pelaporan langsung kepada Direktur Utama dengan tembusan ke Komisaris Utama selaku Ketua Komite Pemantau Sistem Pelaporan Pelanggaran (bila dibentuk), Ketua Satuan Pengawasan Intern/Internal Audit.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota Direksi, atau orang yang mempunyai hubungan khusus dengan anggota Direksi, maka laporan pelanggaran disampaikan kepada Komisaris Utama. Penanganan lebih lanjut diserahkan kepada Dewan Komisaris dan bila diperlukan investigasi, disarankan untuk menggunakan investigator/auditor luar yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota Dewan Komisaris maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan kepada Direktur Utama. Pananganan lebih lanjut atas laporan pelanggaran tersebut dilakukan oleh Direksi, dan bila diperlukan investigasi, disarankan menggunakan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan oleh anggota petugas Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan langsung kepada Direktur Utama, sesuai dengan prosedur yang diuraikan pada butir 2 a. Pananganan lebih lanjut atas laporan pelanggaran tersebut dilakukan oleh Direksi, dan bila diperlukan investigasi, disarankan untuk menggunakan investigator/auditor eksternal yang independen.
Dalam hal pelanggaran dilakukan anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi dan anggota pelaksana Sistem Pelaporan Pelanggaran, maka laporan pelanggaran tersebut diserahkan kepada penegak hukum yang berwenang seperti Polisi, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha, atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
7. EFEKTIVITAS WBS
Suatu program Sistem Pelaporan Pelanggaran dapat dikatakan efektif bila dapat menurunkan jumlah pelanggaran akibat diterapkannya program SPP/WBS selama jangka waktu tertentu. Efektifitas penerapan SPP/WBS antara lain tergantung dari:
a. Kondisi yang membuat karyawan yang menyaksikan atau mengetahui adanya pelanggaran mau untuk melaporkannya;
b. Sikap perusahaan terhadap pembalasan yang mungkin dialami oleh pelapor pelanggaran;
c. Kemungkinan tersedianya akses pelaporan pelanggaran ke luar perusahaan, bila manajemen tidak mendapatkan respon yang sesuai.
Pemenuhan butir a dapat dilaksanakan antara lain melalui:
• Peningkatan pemahaman etika perusahaan dan membina iklim keterbukaan;
• Meningkatnya kesadaran dan pemahaman yang luas mengenai manfaat dan pentingnya program SPP/WBS;
• Tersedianya saluran untuk menyampaikan pelaporan pelanggaran tidak melalui jalur manajemen yang biasa;
• Kemudahan menyampaikan laporan pelanggaran;
• Adanya jaminan kerahasiaan (confidentiality) pelapor.
Butir b merupakan kebijakan yang harus dijelaskan kepada seluruh karyawan terkait dengan Kebijakan Perlindungan Pelapor. Kebijakan ini harus dijelaskan secara meluas dan rinci, termasuk dengan dampaknya pada karir pelapor, termasuk tidak ada catatan yang dapat menimbulkan bias pada file pribadi pelapor. Direksi harus menunjukkan komitmen dan kepemimpinannya untuk memastikan bahwa kebijakan ini memang dilaksanakan. Materi informasi dalam bentuk tertulis akan sangat membantu proses ini.
Sedangkan untuk butir c, diperlukan kebesaran hati Direksi untuk memberikan jaminan bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah, bila memang respon manajemen kurang baik. Akan tetapi manajemen berjanji untuk menangani setiap laporan pelanggaran dengan serius dan benar.
Kondisi-kondisi yang diuraikan di atas haruslah dipersiapkan dengan benar sebelum dilakukan peluncuran penerapan Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS).
8. PROSES PELUNCURAN SPP/WBS
Dalam proses peluncuran SPP/WBS ini perlu diperhatikan aspek manajemen perubahan dalam memperkenalkan sesuatu yang menuntut suatu perubahan perilaku. Penerapan SPP/WBS diharapkan akan mendorong budaya keterbukaan dan kejujuran dan mengurangi budaya diam.
Setiap introduksi program baru dalam organisasi, terdapat beberapa tahapan transisi, sebelum program tersebut dapat berfungsi secara efektif. Tahap pertama adalah penolakan; dalam tahap ini semua orang mempertanyakan kegunaannya, karena sudah merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Tahap kedua adalah perlawanan; dalam tahap ini mereka mulai melihat manfaatnya tetapi masih ragu dan enggan untuk melaksanakannya. Sebaiknya orang lain dulu dan jangan saya. Tahap ketiga adalah tahap eksplorasi; dimana orang sudah melihat dengan jelas manfaat dan kegunaannya dan mulai timbul keinginan untuk memahami dan melakukan eksplorasi lebih jauh. Tahap terakhir adalah komitmen untuk melakukan perubahan tersebut; pada tahap ini proses perubahan akan berlangsung dengan baik.
Proses tersebut juga dialami oleh Top Management, Line Management dan seluruh karyawan. Oleh karena itu proses perubahan tersebut harus dimulai dari Top Management terlebih dahulu, sehingga mereka dapat berperan sebagai Change Leader yang akan diikuti oleh Middle Management. Kemudian Middle Management akan menjadi Change Leader yang akan diikuti oleh Line Management. Proses yang sama akan dilakukan oleh Line Management yang akan berfungsi sebagai Change Leader bagi seluruh karyawan.
Dengan pemahaman di atas maka proses peluncuran SPP/WBS diatur dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap persiapan awal, meliputi penyusunan infrastruktur organisasi, penunjukan pejabat yang ditunjuk dan pelatihannya;
b. Tahap persiapan lanjutan, meliputi penyusunan pernyataan komitmen dan kebijakan pelaksanaan SPP/WBS, persiapan mekanisme dan infrastruktur pelaporan, sistem dan prosedur kerja, petunjuk-petunjuk dan media promosi (misal poster, spanduk, booklet, dll.) yang diperlukan. Sebelum acara peluncuran, Direksi dan Dewan Komisaris harus memperoleh briefing secara lengkap dan rinci mengenai program Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) ini;
c. Acara resmi peluncuran SPP/WBS yang sifatnya seremonial dapat dilakukan apabila dianggap perlu, antara lain dengan acara penandatanganan Pernyataan Komitmen Direksi dan Komisaris, kemudian diikuti dengan para pejabat manajemen senior (senior managers) dan memperkenalkan para petugas pelaksana SPP/WBS;
d. Sosialisasi untuk pejabat manajemen, meliputi workshop untuk para Manajer Senior; workshop untuk para Manajer Madya dan para Manajer Lini Pertama, serta pelatihan Training for Trainer untuk manajer. Tujuannya adalah agar para pejabat manajemen dapat memahami keseluruhan proses WBS, sehingga mereka mampu untuk menjadi fasilitator atau pelatih (trainer) di masing-masing unitnya;
e. Sosialisasi untuk karyawan, meliputi workshop atau pelatihan dengan instruktur para manager unit kerja terkait dan dengan menggunakan materi sosialisasi yang telah disiapkan oleh fungsi atau unit SPP/ WBS; dan
f. Implementasi Sistem Pelaporan Pelanggaran secara penuh
BAGIAN V
ASPEK PERAWATAN
1. PELATIHAN DAN PENDIDIKAN BERKELANJUTAN
Pelatihan dan pendidikan berkelanjutan perlu dilakukan untuk memastikan agar setiap individu dalam perusahaan terus dibekali dengan pengetahuan dan perkembangan praktik WBS, dan mencakup hal-hal dibawah ini:
a. Pelatihan etika dan budaya perusahaan yang mendorong terjadinya “budaya kejujuran dan keterbukaan”. Pelatihan ini diikuti oleh seluruh jajaran karyawan perusahaan dan didukung dengan pernyataan berkala (tahunan) untuk patuh dan berlaku etis sesuai dengan Pedoman Etika perusahaan.
b. Pelatihan secara masif (massive training) mengenai tata cara untuk berperan serta dalam program Sistem Pelaporan Pelanggaran (WBS) yang meliputi:
1) Bagaimana caranya menyampaikan pelaporan pelanggaran;
2) Pilihan untuk menyampaikan secara anonim atau dengan memberikan identitas, tetapi dengan jaminan kerahasiaan. Disarankan untuk melakukan pilihan menggunakan identitas dengan jaminan kerahasiaan dan didukung dengan penjelasan rinci apa makna jaminan kerahasiaan ini dan manfaatnya;
3) Penjelasan yang rinci mengenai Kebijakan Perlindungan Pelapor yang diberlakukan untuk pelapor yang beriktikad baik dan jaminan Direksi serta Komisaris untuk melaksanakannya;
4) Tindakan disiplin bila melakukan fitnah dan pelaporan palsu melalui jalur ini.
5) Insentif (bila ada) bagi pelapor yang atas laporannya pelanggaran tersebut dapat diatasi dan kerugian yang lebih besar dapat dihindari.
6) Penjelasan mengenai manfaat dan pentingnya program ini bagi perusahaan.
c. Pelatihan dan pendidikan berlanjut untuk para petugas pengelola Sistem Pelaporan Pelanggaran. Materi pelatihan ini antara lain:
1) Teknik investigasi;
2) Teknik komunikasi dan konseling;
3) Teknik mengevaluasi pelaporan pelanggaran;
4) Bagaimana menangani isu yang sensitif dan kritis;
5) Memahami peran line management dalam program WBS dll.
Pelatihan dan pendidikan di atas tidak hanya dilakukan sekali, tetapi dilakukan secara berkala. Pada tahap pertama dilakukan untuk semua jajaran karyawan perusahaan, pada tahun kedua dapat ditingkatkan dengan membahas kasus-kasus yang terjadi tahun sebelumnya dan pelajaran apa yang dapat ditarik dari kasus tersebut serta bagaimana mencegah berulangnya. Program pelatihan ini dapat disatukan dengan program pelatihan etika dan budaya perusahaan atau program kepatuhan lainnya.
Pelatihan ini adalah pelatihan wajib bagi seluruh karyawan baru. Untuk anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris baru yang berasal dari luar perusahaan, pengenalan ini harus dimasukkan dalam program induksi mereka.
2. KOMUNIKASI BERKALA
Komitmen perusahaan untuk menyelenggarakan komunikasi berkala mengenai hasil penerapan program Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP/WBS) akan menentukan dukungan karyawan terhadap program ini, khususnya penciptaan “budaya kejujuran dan keterbukaan”. Kegagalan melakukan komunikasi berkala akan memperkuat kembali “budaya diam”, bahkan dapat lebih kuat karena hilangnya kepercayaan terhadap pimpinan perusahaan.
Pelaksanaan komunikasi berkala ini dapat dilakukan antara lain melalui:
a. Publikasi berkala tiap tiga atau enam bulan di situs perusahaan dan media internal (majalah, newsletter, dll.) kegiatan yang dilaksanakan, seperti misalnya pelatihan, jumlah kasus yang telah ditangani dan manfaat yang diperoleh, dlsb;
b. Menempatkan FAQ (Frequently Asked Questions) “pertanyaan yang sering diajukan” pada situs internal perusahaan;
c. Penerbitan Buku Panduan WBS bagi Manager dan karyawan;
d. Pertemuan berkala dengan Serikat Pekerja dengan agenda penjelasan SPP/WBS dan manfaatnya bagi perusahaan.
e. Memasukan agenda SPP/WBS sebagai salah satu agenda Management Meeting.
3. INSENTIF BAGI PELAPOR
Peraturan Pemerintah No.71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab III mengatur mengenai bentuk dan besarnya penghargaan yang diberikan. Penghargaan dapat berupa uang atau piagam dan besar premi atau penghargaan berupa uang adalah dua per seribu (dua permil) dari besarnya kerugian pemerintah yang berhasil dikembalikan.
Perusahaan perlu mempertimbangkan adanya penghargaan bagi pelapor yang besarnya cukup menarik untuk lebih mendorong mereka yang menyaksikan tetapi tidak melaporkan menjadi tertarik untuk melaporkan adanya pelanggaran . Hal ini dapat menjadi percepatan untuk merubah “budaya diam” menjadi “budaya kejujuran dan keterbukaan”.
4. PEMANTAUAN EFEKTIFITAS DAN PERBAIKAN PROGRAM
Penerapan program SPP/WBS memerlukan upaya yang tidak kecil, oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan secara berkala efektifitas penerapannya. Komite Pemantau SPP/WBS dari Dewan Komisaris selayaknya melakukan audit dan tinjauan berkala (review) terhadap efektifitas penerapan program SPP/WBS. Pelaksanaan audit dan review ini dapat dilakukan sendiri oleh Komite Pemantau Etika atau Auditor Internal/Satuan Pengawasan Intern atau menggunakan pihak luar yang independen.
Perusahaan perlu melakukan monitoring dan review ini untuk memastikan efektifitas penerapan SPP/WBS sehingga dapat memenuhi sasaran yang telah ditetapkan pada awal pencanangan program dan juga memastikan bahwa pencapaian tersebut sesuai dengan tuntutan bisnis perusahaan. Dalam hal ditemukan masih terdapat kesenjangan maka melalui monitoring dan review ini diperoleh kesempatan untuk melakukan perbaikan
Montoring dan review ini harus dilakukan setidaknya sekali dalam setahun.
5. BENCHMARKING
Benchmarking merupakan suatu upaya untuk mengukur seberapa jauh kinerja kita dalam melaksanakan program SPP/WBS dengan membandingkan perusahaan lain yang juga melaksanakan. Melalui proses ini kita akan melakukan studi banding penerapan SPP/WBS dengan perusahaan lain.
Melalui benchmarking dapat dilakukan tukar menukar pengalaman dan pengetahuan mengenai penerapan SPP/WBS. Bila perusahaan lain lebih baik, maka dapat dilakukan pembelajaran darinya; tetapi bila tidak, maka perusahaan berkewajiban untuk berbagi ilmu dan pengetahuan. Melalui proses benchmarking, dapat dilakukan penyebaran penerapan SPP/WBS secara lebih cepat, sehingga upaya pencegahan kecurangan dalam perusahaan dapat ditingkatkan, dan pada gilirannya upaya pencegahan korupsi dapat juga ditingkatkan.
LAMPIRAN
Lampiran 1: Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan SPP/WBS
1. Pernyataan komitmen terhadap pembentukan budaya kepatuhan dan perilaku etis secara umum (Compliance and Ethics programme);
2. Pernyataan komitmen terhadap program penerapan Sistem Penerapan Pelaporan (Whistleblowing System);
3. Dokumen resmi yang menjelaskan manfaat dan pentingnya SPP/WBS bagi perusahaan dan alasan penerapannya di perusahaan;
4. Dokumen resmi yang memberikan penjelasan tata cara (prosedur) pelaporan pelanggaran dan kepada siapa laporan pelanggaran disampaikan dan media apa yang tersedia untuk menyampaikan laporan ini;
5. Dokumen resmi yang menyatakan perilaku apa saja yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran dengan menggunakan jalur SPP/WBS;
6. Penjelasan resmi siapa sajakah yang dapat memanfaatkan jalur SPP/WBS dalam melaporkan pelanggaran yang diketahuinya (karyawan, supplier, masyarakat umum);
7. Panduan untuk memastikan bahwa apa yang dilaporkan memang betul-betul merupakan pelanggaran (lihat butir 5 di atas, dan seberapa jauh informasi pendukung yang diperlukan atau seberapa “berat” pelanggaran yang disaksikan serta dampak negatifnya pada perusahaan atau masyarakat);
8. Dokumen penegasan bahwa penyampaian laporan yang bersifat fitnah atau palsu tidak akan diproses dan bahkan akan diberi sanksi bila terbukti demikian;
9. Pernyataan perusahaan bahwa pelapor dan laporannya akan dijamin kerahasiaan dan keamanannya;
10. Pernyataan komitmen perusahaan untuk melindungi pelapor (Whistleblower Protection Policy) dari segala bentuk tindakan-tindakan pembalasan yang mungkin terjadi dari terlapor, atasan-atasannya atau pihak lain yang terkena dampak pelaporannya. Perlindungan ini diberikan kepada diri pelapor, keluarganya atau rekan-rekannya dan meliputi keamanan kerja, kelanjutan karirnya di perusahaan, keselamatan fisik, nyawa dan harta serta perlindungan hukum;
11. Pernyataan bahwa pelapor akan menerima kabar mengenai proses penanganan laporan pelanggaran yang disampaikan;
12. Dokumen yang berisikan penjelasan mengenai hak-hak pelapor terkait dengan proses yang terjadi akibat pelaporan pelanggaran yang disampaikannya, misalnya permohonan untuk direlokasi dalam upaya menjaga anonimitas dari pelapor, atau cuti selama proses investigasi dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah hak untuk banding ke lembaga yang lebih tinggi (Komite Pemantau SPP/WBS) bahkan bila perlu ke lembaga penegak hukum;
13. Uraian umum mengenai proses investigasi yang akan dilakukan perusahaan setelah menerima laporan pelanggaran yang valid, termasuk komitmen terhadap penerapan prinsip-prinsip kewajaran dan keadilan dalam proses investigasi tersebut. Selain itu juga komitmen untuk melakukan perbaikan terhadap pencegahan pelanggaran yang terjadi;
14. Penjelasan apakah pelaporan pelanggaran dapat dilakukan secara anonim atau tidak;
15. Komitmen bahwa melakukan penunjukan petugas Perlindungan Pelapor yang kompeten dan jujur, serta terbuka bagi semua karyawan;
16. Pernyataan komitmen perusahaan untuk senantiasa melakukan evaluasi dan perbaikan untuk meningkatkan efektifitas program SPP/WBS.
Lampiran 2: Checklist Penerapan Program SPP/WBS
No Keterangan Ya/Tidak Tindak Lanjut
I TAHAP PERSIAPAN AWAL
1. Kesepakatan Direksi dan Komisaris untuk membentuk unit SPP/WBS dan penunjukan tim untuk mempersiapkannya
2. Penyusunan organisasi fungsi atau unit pelaksana SPP/WBS lengkap dengan uraian tugas dari masing-masing jabatan
3. Seleksi kandidat petugas SPP/WBS.
4. Penunjukkan Petugas Perlindungan Pelapor dan Petugas Investigasi, serta staf adminstatif unit SPP/WBS
5. Pelatihan petugas SPP/WBS dan studi banding ke perusahaan yang telah menerapkan
II TAHAP PERSIAPAN LANJUTAN
6. Pengadaan sarana fisik kantor dan media penyampaian laporan pelanggaran (Hotline, email, kotak pos khusus)
7. Pengumpulan peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi dasar hukum atas penerapan SPP/WBS
8. Penyusunan prosedur penyampaian laporan pelanggaran, termasuk untuk laporan yang anonim
9. Penyusunan panduan mengenai perilaku yang dapat dilaporkan sebagai pelanggaran lengkap dengan penjelasan mengenai tingkat pelanggaran yang akan diproses melalui jalur SPP/WBS
10. Penyusunan ketentuan mengenai sanksi terhadap penyampaian laproan pelanggaran palsu dan fitnah
11. Penyusunan kebijakan jaminan kerahasiaan dan keamanan bagi pelapor
12. Penyusunan Kebijakan Perlindungan Pelapor secara rinci untuk disahkan Direksi dan Dewan Komisaris
13. Penyusunan ketentuan mengenai hak-hak pelapor atas perlakuan yang tidak layak dan hak untuk banding, termasuk menyampaikan laporan pelanggaran kepada penegak hukum
14. Penyusunan pernyataan komitmen terhadap penerapan SPP/WBS untuk ditandatangani Direksi, Dewan Komisaris dan seluruh karyawan
15. Penyusunan materi untuk Executive Briefing tentang SPP/WBS bagi Direksi dan Dewan Komisaris
16. Penyusunan materi workshop untuk Manager mengenai SPP WBS/, khususnya peran Manajemen dalam SPP WBS/ dan juga pelatihan Training for Trainer bagi para manager yang akan memberikan pelatihan SPP/WBS.
17. Penyusunan materi untuk sosialisasi SPP/WBS bagi seluruh karyawan.
18. Executive Briefing untuk Direksi dan Komisaris tentang pelaksanaan SPP/WBS
III PELUNCURAN PROGRAM SPP/WBS
19. Persiapan materi promosi dan penggandaan buku Petunjuk informasi tentang SPP/WBS untuk dibagikan kepada karyawan dan tamu.
20. Penyusunan acara peresmian peluncuran program SPP/WBS yang antara lain berisikan:
• Penandatanganan komitmen Direksi dan Dewan Komisaris serta Pejabat Senior Perusahaan;
• Sambutan Direksi/Dewan Komisaris;
• Sambutan dari luar perusahaan
• Perkenalan petugas pelaksana SPP/WBS dan nomor untuk dihubungi
21. Penentuan waktu pelaksanaan upacara seremoni peluncuran penerapan SPP/WBS dan persiapan fisik dan acara lainnya
22. Pelaksanaan Peluncuran Penerapan SPP/WBS
23. Kegiatan promosi berlanjut dan Soft Launching SPP/WBS
IV PELATIHAN DAN SOSIALISASI
24. Penyusunan jadwal pelatihan dan sosialisasi secara keseluruhan (company wide)
25. Persiapan logistik dan akomodasi untuk pelatihan dan sosialisasi
26. Sosialisasi/workshop untuk Senior Manager
27. Sosialisasi dan workshop untuk Manager
28. Pelatihan Training for Trainers bagi para Manager
29. Pelatihan dan sosialisasi untuk karyawan
V PENERAPAN SPP/WBS
30. Final check up seluruh infra struktur SPP/WBS, termasuk Helpline yang ada
31. Pelaksanaan SPP/WBS secara penuh dan siap menerima pelaporan dan proses berikutnya
32. Perencanaan kegiatan komunikasi berkala
33. Pelaksanaan komunikasi berkala
VI MONITORING & REVIEW
34. Penyusunan jadwal monitoring dan review
35. Pelaksanaan review/assessment program SPP/WBS
36. Implementasi rekomendasi perbaikan hasil asessment
Lampiran 3: Panduan Pembuatan Kebijakan SPP (WBS Policy)
Setiap organisasi dapat menyusun Kebijakan SPP ( WBS Policy) sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Panduan yang diberikan ini hanya dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan kebijakan SPP/WBS dan bukan dimaksudkan untuk menjadi acuan yang bersifat wajib dilaksanakan secara harfiah.
1. Pendahuluan
Bagian ini berisikan penjelasan mengapa perusahaan menerapkan SPP/WBS dan sekaligus menjelaskan pemahaman serta sikap perusahaan mengenai SPP/WBS. Beberapa alasan penerapan SPP/WBS antara lain adalah peningkatan kepatuhan terhadap pedoman etika perusahaan (ethical conformance); bagian dari pengendalian internal perusahaan khususnya mengurangi resiko terhadap pelanggaran; tuntutan peraturan perundang-undangan (legal compliance). Dalam bagian ini juga dapat dijelaskan bahwa pengembangan kebijakan ini mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku (lihat I.4);
2. Lingkup dan Tujuan Kebijakan
Menjelaskan lingkup berlakunya kebijakan ini, apakah internal saja ataukah eksternal juga. Internal berarti seluruh karyawan termasuk Direksi dan Dewan Komisaris, eksternal berarti termasuk stakeholders lainnya (pemasok, pelanggan, kreditur, masyarakat, dll.). Selain itu dalam bagian ini dijelaskan tujuan dan sasaran penerapan SPP/WBS.
3. Pelaporan Pelanggaran
a. Siapa yang dapat melaporkan pelanggaran?
Sesuai dengan lingkup kebijakan diuraikan siapa saja yang dapat melakukan pelaporan pelanggaran.
b. Pelanggaran apa saja yang dapat dilaporkan?
Pada bagian ini dirinci perbuatan pelanggaran apa saja yang dapat dilaporkan dan perbuatan apa yang tidak dapat dilaporkan melalui prosedur ini. Dalam hal yang meragukan, apakah suatu perbuatan dapat dilaporkan atau tidak, pelapor dapat berkonsultasi dengan petugas yang ditunjuk. Sebutkan nama dan nomor kontak (email, nomor telepon, dan alamat bila perlu) kepada petugas tersebut.
c. Kapan melaporkan pelanggaran tersebut?
Pelapor harus mempunyai alasan yang kuat dalam menyampaikan laporan pelanggaran ataupun potensi pelanggaran. Pelaporan seyogyanya dilakukan segera dan dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan, karena semakin lama ditunda semakin menyulitkan investigasi dan tindak lanjut. Begitu juga bagi pelapor mungkin akan kehilangan alasan untuk melaporkan bila hal tersebut sudah terlanjur dikoreksi sehingga tidak diketemukan bukti lagi.
d. Bagaimana cara melaporkannya dan kepada siapa?
Perlu ditegaskan bahwa pelapor harus mempunyai iktikad baik dalam menyampaikan laporan pelanggaran ini, karena laporan yang disampaikan tidak dengan iktikad baik akan memperoleh sanksi.
Kebijakan ini harus menjelaskan tata cara pelaporan dan saluran komunikasi mana sajakah yang tersedia. Bila ia karyawan perusahaan, kepada siapa ia harus melaporkan (nama dan kontak lengkap) petugas tersebut. Bila lebih dari satu petugas, juga harus dijelaskan.
Bila ia bukan karyawan perusahaan, bagaimana ia harus menyampaikan laporannya. Disarankan perusahaan membuat bagan alir (flowchart) cara pelaporan sehingga jelas bagi seluruh karyawan dan pihak lain yang ingin melaporkan pelanggaran.
Dalam kebijakan ini juga dijelaskan informasi minimum yang harus disampaikan kepada petugas untuk memungkinkan dilakukan tindak lanjut terhadap laporan tersebut. Perlu dijelaskan pula bahwa setiap laporan akan dievaluasi terlebih dahulu apakah dapat ditindaklanjuti atau tidak. Ini tergantung dari informasi awal yang disampaikan tadi.
Dalam kebijakan ini juga harus dijelaskan penjenjangan pelaporan seusai dengan kedudukan terlapor, atau bila pelapor ragu ke tingkat mana ia harus menyampaikan laporannya (lihat bagian IV.6).
e. Komunikasi dengan pelapor
Komunikasi dengan pelapor akan dilakukan secara rahasia oleh petugas Perlindungan Pelapor. Pelapor berhak mendapatkan informasi mengenai kelanjutan proses penanganan laporan yang disampaikan. Identitas pelapor akan dijaga kerahasiaan dan keamanannya.
f. Bagaimana dengan pelapor anonim?
Pelapor anonim dapat diterima tetapi diingatkan bahwa akan terdapat kesulitan untuk melakukan komunikasi dan klarifikasi atas laporannya tersebut..
4. Perlindungan terhadap pelapor
a. Kebijakan perlindungan pelapor
Perusahaan harus membuat uraian yang cukup rinci mengenai perlindungan yang diberikan kepada pelapor, mulai dari kerahasiaan identitas, jaminan keamanan informasi, perlindungan terhadap balasan yang berupa ancaman keselamatan fisik, teror psikologis, keselamatan harta, perlindungan hukum dan keamanan pekerjaan. Perlindungan ini juga dapat diberlakukan kepada pelapor dan keluarganya (lihat III.2)
b. Insentif bagi pelapor
Apabila perusahaan berpendapat bahwa perlu diberikan penghargaan bagi pelapor yang beriktikad baik, maka kebijakan ini harus memberikan uraian atas penghargaan yang akan diberikan kepada pelapor atas jasanya tadi. Tetapi perlu dipertimbangkan apabila penghargaan ini diberikan secara terbuka, berarti jaminan rahasia identitas pelapor menjadi tidak berlaku lagi.
c. Sanksi bagi pelapor yang menyalahgunakan sistem pelaporan pelanggaran (SPP/WBS)
Kebijakan ini harus menegaskan bahwa pelapor yang melakukan fitnah atau melakukan pelaporan palsu akan kehilangan hak mendapatkan perlindungan dan bahkan diancam dengan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5. Monitoring dan review
Kebijakan ini juga harus menguraikan bagaimana monitoring dan review akan dilaksanakan. Hal ini menunjukkan komitmen Direksi untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan efektifitas pelaksanaan SPP/WBS.
Lampiran 4 : Kerjasama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan
Langganan:
Postingan (Atom)